Memilih Jurusan Jelang SNBP, Jangan Sampai Kisah Nyata Ini Terjadi pada Kamu!

Like

Tidak Setuju Sama Sekali

Dewi tidak mau memilih jurusan itu. Ini pada awalnya. Namun, dia pun pada akhirnya memilih jurusan sosial kemasyarakatan tersebut.

Berhasil masuk di perguruan tinggi negeri terkenal di negeri ini. Maksudnya, negeri Indonesia, lho, bukan Konoha, apalagi Wakanda. Seharusnya, kalau ada Wakanda, ada juga Wadinda. Ya 'kan? 

Si anak gadis sebenarnya mendapatkan nilai yang memuaskan saat semester-semester awal. Bahkan cumlaude. Namun, saat memasuki fase skripsi, mentoklah pikirannya.

Dia merasa sangat suntuk dan merasa benci dengan jurusan pilihan bapaknya tersebut. Pikirannya buntu, jauh lebih buntu daripada gang buntu maupun usus buntu. Mau dibuntu? Eh, kalau itu yang benar, mau dibantu? 

Dewi memutuskan untuk tidak mau membuat skripsi. Padahal, skripsi sudah disiapkan bahan penelitiannya oleh bapaknya.


Tinggal menulis saja, semua data sudah ada. Akan tetapi, si anak sudah tidak mau sama sekali. Saat sudah tinggal skripsi, dia merasa salah jurusan.

Dia merasa bahwa jurusan itu sama sekali tidak tepat untuknya. Semestinya dia memilih Sastra Korea sesuai pilihan awal. 

Nah, konflik keluarga pun makin berkembang. Bahkan, sampai ke keluarga besar. Anak dan bapak itu terus berkonflik. Apalagi sang bapak punya watak yang keras, terus memarahi si anak.

Termasuk, memaki dan memberi sebutan yang buruk untuk anaknya. Padahal, kata ada doa, ya 'kan? Apalagi kalau doa orang tua kepada anak, bisa cepat terkabul. 

Si anak makin terpuruk jiwanya. Dia merasa stres luar biasa. Lebih banyak mengunci diri di dalam kamar. Sendirian, main HP, main laptop.

Tidak ada gairah hidupnya lagi. DIa semakin merasa putus asa. Mau kembali memilih Sastra Korea, sudah berjalan beberapa tahun. Makin tertekan, makin tenggelam. 

Saudara-saudaranya menasihati Dewi agar menyelesaikan kuliah tersebut. Sebab, itu menyangkut berbakti kepada orang tua.

Nanti kalau sudah lulus kuliah, terserah Dewi, mau kerja apa dan di mana? Boleh tidak bekerja di kantor bapaknya. 

Akan tetapi, Dewi tetap tidak sanggup. Dia menyanggah juga nasihat saudara-saudara dan keluarga lainnya.

Dia mengatakan bahwa bapaknya tidak peduli dengan minatnya. Tidak peduli dengan keinginannya sejak awal. Pada akhirnya, sang bapak menyerah, beliau sudah capek marah-marah. Lalu, menyerahkan kepada si anak. Terserah. 

Konflik itu sudah berjalan lebih dari satu tahun. Dan, meninggalkan bekas yang dalam di hati masing-masing. Bekasnya lebih terasa hitam daripada bekas jerawat yang ada di wajahmu.

Eh, sudah tidak ada, ya? Alhamdulilah. 

Baca Juga: Pilih Top Kampus vs Jurusan Sesuai Passion, Mana yang Harus Diutamakan?
 

Berkaca dari Kisah Nyata Tersebut

Memilih jurusan, mau itu istilahnya SNBP, SNMPTN, maupun istilah lainnya, pada dasarnya sama saja. Saya membaca beberapa artikel di sini, harus menyesuaikan antara minat dan bakat, melihat potensi ke depannya, bertanya kepada orang yang sudah berpengalaman dan sudah bekerja di suatu bidang, dan lain sebagainya. 

Namun, yang tidak bisa dipungkiri adalah menyesuaikan antara keinginan anak dan orang tua. Ini yang paling sering terjadi.

Orang tua mempunyai pilihan, anak pun memiliki pilihan. Orang tua menetapkan pilihan, merasa mengerti dengan sifat, karakter, minat, dan bakat anak. Padahal, itu belum tentu. Itu tidak selamanya benar. 

Anak bisa memiliki pilihan lain, tergantung pada zaman yang dia alami. Makanya itu, mendidik anak memang harus menyesuaikan zamannya.

Mungkin, zaman dahulu, PNS adalah pekerjaan paling favorit, namun sekarang belum tentu. Dahulunya PNS yang favorit, sekarang ASN yang jadi favorit. Eh, itu sama saja, ya?

Sekarang, ada begitu banyak bidang pekerjaan yang tidak ada di zaman dahulu. Apalagi eranya adalah teknologi macam begini.

Peluang usaha, bisnis, kerja sangatlah berlimpah, kaitannya dengan dunia internet. Akan tetapi, jurusan di perguruan tinggi masih belum bisa mengkover semuanya. Perguruan tinggi masih belum cepat merespon perkembangan sekarang ini. 

Jadi, yang diperlukan tentu saja dialog dan komunikasi yang harmonis antara orang tua dan anak. Jika anak sudah mantap dengan pilihannya, maka orang tua tidak bisa terlalu memaksa.

Memberikan pandangan boleh, meskipun pandangan orang tua sudah mulai rabun tanpa kacamata. Orang tua bisa memberikan pendapatnya, sedangkan anak juga diberikan kesempatan mengutarakan pendapatnya, meskipun dia duduknya berada di sebelah barat orang tua. 

Orang tua yang bijak tidak perlu sampai berkata, "Pokoknya, kamu harus nurut sama orang tua! Kalau tidak nurut, maka kamu jadi anak durhaka!" Lalu, karena si anak dianggap durhaka, maka dia dikutuk jadi batu. Lalu, batunya apa, nih? Apakah batu akik? Wuih, trennya sudah lewat, lah yauw!

Kalau komunikasi yang harmonis, intens, dan menyenangkan antara orang tua dengan anak, maka segalanya akan jadi lebih mudah.

Segalanya akan jadi lebih lancar. Dialog yang tercipta bisa menciptakan kesimpulan yang sama-sama menenteramkan. Anak nyaman menjalani pilihan di perguruan tingginya. Orang tua pun nyaman membiayai. 

Sampai di sini, kamu mau memilih jurusan apa? Sudah dibicarakan baik-baik dengan orang tua kamu? Yah, ibaratnya, seperti senjata, lah.

Ada senapan AK-47, ada pula senapan M35. Sementara, kalau untuk jurusan, maka yang lebih cocok adalah M35, karena itu adalah jurusan angkot Kampung Melayu-Senen! 

#Mon-FridayJanuari






---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Punya opini atau tulisan untuk dibagikan juga? Segera tulis opini dan pengalaman terkait investasi, wirausaha, keuangan, lifestyle, atau apapun yang mau kamu bagikan. Submit tulisan dengan klik "Mulai Menulis".
 
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
 
Gabung juga yuk di komunitas Whatsapp Group kami! Klik di sini untuk bergabung