Stres Berkedok Self-Love, Tren atau Kebutuhan?

Tren self-love atau stres kini berkembang di media sosial (Foto Sumber: Pexels)

Tren self-love atau stres kini berkembang di media sosial (Foto Sumber: Pexels)

Like

Generasi Z, yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh di tengah revolusi digital dan perubahan sosial yang cepat.

Di era ini, konsep self-love atau mencintai diri sendiri semakin populer, seiring dengan kampanye kesehatan mental dan kesadaran diri yang sering digaungkan di media sosial.

Namun, di balik gemerlap pesan positif ini, Gen Z juga menghadapi tingkat stres yang tinggi, tekanan untuk berhasil, serta realitas hidup yang penuh tantangan.

Bagaimana generasi ini menyeimbangkan antara self-love dan stres dalam menjalani kehidupan sehari-hari?


Self-Love: Tren atau Kebutuhan?

Self-love telah menjadi semacam "tren" di kalangan Gen Z. Mereka dibombardir dengan pesan-pesan untuk mencintai diri sendiri apa adanya, mengutamakan kesejahteraan mental, serta menolak standar kecantikan dan kesempurnaan yang tidak realistis.

Baca Juga: Karakter untuk jadi Modal Sukses Generasi Z


Media sosial seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan konten tentang perawatan diri, penerimaan diri, dan afirmasi positif.

Ini menjadi semacam respons terhadap tekanan sosial yang begitu besar, terutama dari segi penampilan fisik dan prestasi.

Namun, bagi banyak orang, self-love bukan sekadar tren. Kesehatan mental telah menjadi isu yang semakin penting, terutama di tengah semakin tingginya kasus kecemasan, depresi, dan burnout di kalangan anak muda.

Gen Z menghadapi tuntutan akademik, karir, dan sosial yang sangat berat, terutama dalam iklim kompetitif yang sering kali tidak memberikan ruang untuk kegagalan.

Dalam konteks ini, self-love menjadi kebutuhan, bukan hanya sekadar mode atau gaya hidup.