
Ilustrasi Bawang Batak | Foto: atlascompany via Freepik
Likes
Disclaimer dulu, soal selera memang agak tricky, karena didasarkan pada suka atau tidaknya seseorang pada objek tersebut, entah itu makna cantik, selera warna, soal seni, sampai rasa.
Perbedaan ini bisa terjadi karena kombinasi berbagai faktor seperti faktor genetik, pengalaman masa lalu, lingkungan, termasuk budaya.
Pengaruh Lingkungan Atas Selera
Kali ini, saya akan mengajak Be-mers untuk sedikit membahas soal kuliner, secara spesifik rempah-rempah yang ada di negara kita dan mungkin jadi bagian tak terpisahkan dalam konsumsi harian.
Saya beri satu contoh. Selama ini, lingkungan saya selalu menunjukkan bahwa daun bawang itu adalah rempah yang tidak enak.
Mereka memang tidak secara gamblang mengatakan, namun menyiratkan dengan sangat jelas betapa makanan ini hanya untuk kebutuhan penambah aroma saat produksi makanan saja, tapi ketika tersaji, setiap irisannya disisihkan di bagian pinggir wadah makanan. Kasarnya, jadi bagian terbuang yang tidak dikonsumsi.
Sebagai seseorang yang suka 'turun' ke dapur, saya kerap berhadapan dengan daun bawang. Daunnya terlihat gendut, padat, dan sebagaimana 'keluarganya', tanaman ini juga berlapis-lapis dan mengeluarkan aroma pedas yang berasal dari senyawa Sulfur yang dikandungnya.
Saat mengiris bagian daun bawangnya, sesekali saya menemukan lendir yang keluar dari sel-sel bagian daun bawang yang diiris. Ini normal, terjadi sebagai upaya tanaman ini untuk menjaga kelembapan dan melindungi dirinya dari kekeringan.
Tampilan itu bikin saya agak geli dengan daun bawang. Maksud saya, ketika tanaman lain mengeluarkan air, kenapa tanaman ini mengeluarkan lendir? Gambaran ini seolah membuat bahan pangan tersebut rusak dan tidak bisa digunakan lagi. Tapi tetap saya gunakan karena aromanya yang cukup kuat saat dimasukkan ke dalam makanan.
Elaborasi dari pengalaman memasak, tampilan daun bawang yang menurut saya sedikit aneh dan lingkungan yang cukup blak-blakan menyingkirkan irisan daun bawang di dalam makanan membuat saya sepakat
"Oke, daun bawang cukup untuk penyempurna rasa dan aroma saat diproduksi saja. Tidak untuk dimakan, dikunyah atau dikonsumsi seperti makanan lain pada umumnya."
Salahnya adalah, kesimpulan itu saya buat tanpa mencicipinya terlebih dahulu. Sebuah kesalahan yang cukup kuat bagi orang yang ngaku suka masak.
Tapi harus diakui, bahwa betul lingkungan memiliki peran yang cukup tinggi untuk menentukan selera termasuk selera terhadap makanan.
Keisengan yang Saya Harap terjadi Sejak Dulu
Soal selera makan, rasa saja tidak cukup. Dari yang saya pahami ketika duduk di bangku kuliah di program studi Teknologi Pangan, estetika pada makanan juga memiliki andil yang cukup kuat untuk meningkatkan pengalaman makan dan bisa juga menjadi salah satu faktor pendompleng nafsu makan.
Selain platting yang tepat, tentu variasi warna yang sepadan di dalam makanan juga bertugas untuk memaksimalkan visual dan menambah estetika pada makanan.
Repotnya, satu-satunya bahan pangan yang warnanya bertabrakan dengan makanan yang akan saya sajikan adalah daun bawang.
Saat saya melihatnya, benda itu seolah melihat saya balik sambil petantang petenteng "Ape lo? Ngga punya pilihan lain kan lo selain gue?"
Demi visual makanan yang cantik, saya ambil tiga batang daun bawang, saya iris serong sembarang kemudian saya gunakan untuk menyempurkan makanan saya.
Ketika makanan sudah tersaji di depan mata, setelah hidup 3 dekade lamanya, untuk pertama kalinya saya iseng cicip-cicip demi menjawab rasa penasaran di dalam hidup "emang gimana sihhh rasa daun bawang itu?"
Dengan tatapan aneh dan sedikit bergidik, saya menyuap beberapa iris daun bawang lengkap dengan tampilan wajah menyeringai memproses rasa yang sedang ada di dalam mulut saya.
Lalu beberapa iris lagi. Beberapa iris lagi dan lagi dan lagi. Begitu, sampai seluruh makanan di piring saya habis tanpa sisa. Bedanya, kali ini tidak ada irisan daun bawang yang tertinggal di pinggirannya.
Rasanya, jangan ditanya! Ini enak sekali, lembut dengan aromanya yang kuat. Dimakan bersamaan dengan gurihnya ikan yang sudah digoreng kemudian digulai, bercampur dengan rempah lainnya ditambah nasi hangat. Ai mak, nambah saya!
Saya harap saya melakukan keisengan ini sejak dulu jika tahu rasanya memang seenak ini.
Nah, bicara soal rempah-rempah, negara kita boleh sombong karena kaya akan tanaman ini. Sebut saja lada, cengkeh, pala, kayu manis, jahe, kunyit, vanili, kencur, lengkuas, serai, kemiri, kapulaga, bawang-bawangan, kecombrang dan masih banyak rempah lain yang jadi kekayaan Indonesia.
Demi meluruskan tuduhan tak manusiawi yang saya tujukan pada daun bawang selama ini, saya ingin merangkum dua rempah yang mungkin selama ini Be-mers juga ikut hindari karena merasa gamang mengonsumsinya saat tersaji di depan mata, atau mungkin karena tidak tahu bagaimana rasanya.
Jadi, ini dia rempah Indonesia yang nikmat disantap dengan atau tanpa lauk sekalipun.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.