Tetap Semangat Mencari Rezeki di Masa Pandemi

Bisnis Muda
Like

Akhir tahun lalu, ketika ngobrol dengan Ibu, saya kerap bilang kalau tahun 2020 akan terjadi resesi ekonomi. Ibu, tentu saja tak paham apa itu artinya resesi ekonomi. Ya, bagi Ibu yang setiap harinya berjualan nasi uduk, tentunya tak memedulikan hal-hal teori seperti itu. 

Lupa kapan  Ibu mulai berjualan nasi uduk. Yang pasti, dengan jualannya itu Ibu merasa memiliki kesibukan dan tentunya menambah penghasilan. Yang menarik dari usaha Ibu adalah, adanya titipan-titipan kue dari beberapa tetangga yang diletakan setiap hari.

Jangan bayangkan nilainya dengan start up-start up besar yang keuntungannya ratusan juta (bahkan milyaran). Nominalnya kecil saja, tapi bagi saya itu sungguh menjadi berharga. Hal-hal kecil yang dikerjakan Ibu setiap hari menjadi tonggak pemberdayaan ekonomi bagi kaum perempuan.

Lihat saja Budhe Asiyah, setiap harinya ia menitipkan buras (nasi yang dibungkus daun berisi lauk, kadang oncom, sayuran dan tempa). Berapa yang dititipkan oleh Budhe Asiyah? terkadang tak sampai 50 bungkus. Berapa harga yang dibandrol? Rp. 1000/bungkus. Lalu Ibu saya menjualnya dengan harga Rp. 1250. Ada juga yang menitipkan bubur sumsum, kroket, gemblong, onde-onde dan sebagainya. Jadi, Ibu saya hanya menyediakan gorengan, juga lauk-pauk nasi uduk.

Lalu bagaimana kabar jualan Ibu di masa pandemi?


"Mbak, bener kata kamu. Tahun ini katanya ekonomi sulit." Inilah yang kerap Ibu ceritakan. Awal-awal ada covid-19, Ibu kerap bercerita kalau dagangannya sepi banget. Padahal, ekonomi sulit yang saya ceritakan ini tanpa adanya covid. Setelah ada covid? Jangan tanya bagaimana, entunya, sepi adalah jawabannya.

Tapi ada satu prinsip yang ibu pegang ketika berjualan. Konon, menjaga konsistensi adalah yang utama dalam berniaga. Di mana ada atau tidak ada pembeli, ibu harus berjualan. Itulah kenapa ibu susah sekali kalau ditawarin "libur" dulu. Katanya, "kasihan nanti kalau ada pembeli." Ibu selalu begitu. Prinsip yang belum bisa saya coba meski beberapakali mencoba.

Lantas bagaimana selama Ramadan lalu? Ibu tentu saja masih berjualan. Tapi ibu libur dagang nasi uduk. Sore hari, ibu senantiasa menyiapkan goregan, camilan yang khas disajikan sebagai bukaan oleh sebagian banyak orang. Termasuk saya tentu saja hehehehe...

Di minggu-minggu pertama, jualan ibu sepi banget. Setiap gorengan yang tak habis, ibu selalu sedekahkan ke masjid. Bahkan, tak jarang ibu juga mengambil serta dagangan-dagangan tetangga buat ke masjid. Yang bayar, tentu saja ibu saya. Sebagian dari mereka yang menitipkan dagangan tak tahu kalau ibu yang mengambilnya.

Hal tersebut ibu lakukan hampir setiap hari di minggu pertama Ramadan. menurut ibu, hal ini sudah biasa terjadi. Minggu pertama, para ibu rumah tangga kerap menyiapkan segala sesuatunya untuk berbuka. Tapi di minggu-minggu selanjutnya, mereka baru acap membeli di luar.

Apa yang dikatakan ibu ternyata benar adanya. Masuk di minggu kedua akhir, jualan ibu mulai ramai. Bahkan, tetangga yang nitip bura 50-70 biji terkadang kurang. Saya yang melihat kesibukan ibu jadi turut berbahagia.

Selama pandemi ini, saya berada di Cilegon dan Serang sejak akhir Maret lalu. Kali ini, saya jadi sering lihat aktivitas ibu dalam berjualan. Sudah lama, saya menyaksikan transaksi-transaksi kecil yang dilakukan oleh ibu juga para tetangganya yang menitipkan kue. Mungkin, ini terlihat kecil dan spele. Tapi bagi saya, impact yang dilakukan ibu serta tetangganya sangat berarti di masa pandemi. Bagaimana pun, melihat kegiatan  mereka itulah yang menguatkan ekonomi masyarakat kecil tetap berputar. Ada lalu lintang uang di situ.

Mereka semua, tentunya tak mengenal apa itu unicorn, decacorn mau pun hectacorn. Tapi mereka hanya mengenal, bagaimana caranya memutar uang yang jumlahnya sedikit itu untuk tetap ada. Jadi ingat, salah satu tetangga yang menitipkan dagangannya itu benar-benar tergantung dengan jualan yang dititipkan di tempat ibu. Bagaimana tetangga tersebut membeli beras juga dari hasil uang yang bagi sebagian orang itu mungkin tak ada nilainya. Berapa? Rp. 20.000 sahaja.

Lalu, sudah bersyukurkah kita di masa pandemi ini jika rezeki sendiri masih baik-baik saja? Karena di luar sana, ada banyak orang yang terus dan tetap berusaha bertahan hidup dengan rezeki yang seada-adanya.