Seruan '"All Eyes on Papua" Apa Aja yang Dibahas?

pinterest-unchatbackpacker.com

pinterest-unchatbackpacker.com

Like

Semua mata warga Indonesia tertuju kepada Papua. Laman di X/Twitter/Instagram dibanjiri petisi dalam rangka menyelamatkan hutan Papua. 

Bukan hanya  media sosial yang bergerak untuk penyelamatan hutan Papua, tetapi aksi protes dari perwakilan Masyarakat Adat Awyu dan Moi Papua sebanyak 17 ribu di depan Mahkamah Agung .

Mereka menyeruhkan bahwa adanya pelanggaran HAM terhadap nasib hidup damai dan aman dari warga adat dan hutan mereka yang dibabat oleh Perusahaan sawit.

Greenpeace Indonesia telah menyoroti kehilangan 1 juta hektar hutan Papua antara tahun 2000-2018 dengan sangat signifikan. 

Kebakaran terjadi di hutan Papua itu sengaja dilakukan oleh perusahaan sawit untuk perluasan perkebunan sawit. 


Pemerintah telah memberikan izin konsensi untuk usaha hutan kepada Perusahaan seperti Korindo dan mereka beroperasi dengan impunitas.

Seruan Greenpeace Indonesia di laman Change.org adalah “Bebaskan Tanah Papua dari Investasi Perusahaan Sawit”.

Kebijakan Pemerintah untuk memberikan konsensi hutan Papua untuk dialih fungsikan menjadi Perkebunan sawit adalah menyimpang dari kebijakan Ekonomi Hijau.

Baca Juga: Mengentaskan Middle Income Trap, Indonesia Bisa Belajar dari Korea Selatan


 

Hutan Papua 

Hutan terbesar di Indonesia ada di Papua. Luasnya mencapai 33,12 juta ha atau 32.2% total luas tutupan hutan Indonesia. 

Hutan di Papua merupakan hutan hujan tropis dunia.  Hutan di Papua menjadi hunian dan habitat bagi flora dan fauna khas Papua seperti burung cenderawasih, kasuari, tikus raksasa dan lain sebagainya.


 

Kebijakan Proyek vs Kebijakan Ekonomi Hijau

Jutaan hektar hutan di Papua dalam ancaman menjadi perkebunan tebu dengan label swasembada guda dan bioethanol dan risikonya dalam pembukaan hutan alam dalam skala besar.

Tentunya, ini akan merusak dan menyebabkan deforestasi alam yang tersisa di nusantara. Kepres  10 April 2024 Nomor 15/2024 memutuskan dan memerintahkan Satuan Tugas Percepatan Swasembada Gula dan Bioetanla di Merauke Papua Selatan.

Atas perintah Presdien, Bahlil Labadalia, sebagai Menteri Investasi /Kepala Badan Koordinasi Penanaman dan Satgas Lingkungan Hidup dan Kehutanan akhirnya akan memfasilitasi usaha pembangunan dan pengembangan perkebunan tebu terintegrasi dengan industri.

Meskipun dikatakan bahwa proyek strategis nasional ini sebagai lanjutan pengembangan pangan besar dengan tujuan percepatan swasembada gula nasional dan bioethanol sebagai bahan bakar, tetapi faktanya  terjadi kerusakan atas 2 juta  hektar hutan .

Sayangnya penjualan hutan untuk pabrik gula sekaligus produksi bioetanla itu justru menjadikan hilangnya hutan dignatikan dengan bioethanol. 

Baca Juga: Bank Indonesia Catat Aliran Dana Asing Masuk Sebesar Rp22,06 Triliun di Pasar Keuangan Indonesia

Kerugian dari hilangnya hutan di Papua itu membuat pelepasan emisi dan rusaknya lingkungan hidup.
Hal ini juga bertentangan dengan kebijakan Ekonomi Hijau. 

Ekonomi hijau sebagai paradigma pembangunan berpusat kepada pertumbuhan ekonomi yang tangguh dengan tidak mengesampingkan permasalahan lingkungan, mengedepankan pembangunan rendah karbon serta inklusif secara sosial.

Ekonomi hijau mendukung konsep pembangunan berkelanjutan, artinya dalam mengedepankan pembangunan pasti ada sektor yang prioritas.

Misalnya pembangunan ekonomi dengan penanaman modal besar, tetapi ada unsur penanaman modal yang berwawasan lingkungan .