Ilustrasi orang berada di lahan pertanian (Foto Freepik.com)
Like
The Future of Farming is in our Hands
Pagi itu ibu guru sudah siap menyambut anak-anak di depan kelas. Sebelum memulai pelajaran, ibu guru ingin bertanya kepada anak-anak yang siap belajar.
“Apakah impian masa depanmu, ayo sebutkan salah satu saja?” Tanpa ragu-ragu, anak itu langsung mengacungkan tangannya tinggi sambil berteriak dan menjawab bahwa dia ingin jadi pilot, dokter, guru, ahli komputer seperti ayahnya.
Mengapa anak tak melihat profesi petani sebagai pilihannya? Ada apa yang salah dengan profesi petani?
Dalam persepsi dan benak sang anak, petani itu kerjanya di sawah. Sawah penuh dengan lumpur yang kotor, terik matahari, dan harus bergelut dengan pupuk, hujan dan panas.
Kerjanya setengah mati, tapi tidak besar uangnya. Impian dan harapan orang tua untuk masa depan anaknya adalah profesi mentereng lainnya bukan petani seperti dirinya.
Padahal kita sebagai negara agraris sangat membutuhkan petani milenial. Petani milenial yang mampu mengolah lahan yang terbatas tetapi hasilnya optimal karena penggunaan bibit, teknologi dan manajemen.
Lihatlah luas tanah di Indonesia, tinggal sekitar 30 persen daratan, yaitu sekitar 57,8 juta hektar.
Sementara luas tanah yang dipergunakan untuk sawah hanya tinggal sekitar 7,80 hektar. Sayangnya, luas tanah itu makin berkurang, menyedihkan sekali. Di tahun 2019 luas tanah hanya tersisa 7.463.948 hektar. Perbandingan luas tanah sawah dengan petani pun sangat drastis.
Di Indonesia jumlah petani ada 38 juta. Perbandingan antara petani tua dengan petani yang masih produktif adalah 70 persen berbanding 30 persen.
Jika petani yang tua, 27 juta, tidak lagi bekerja di sawah, lalu siapa yang akan menggantikannya.
Baca Juga: Bertani adalah Cara Sederhana tapi Bermakna Merajut Jejaring Ketahanan Ekonomi
Kisah Sukses dan Inspiratif Petani Generasi Milenial
Dikutip dari pupukkaltim.com, Ali Lutfi adalah seorang pemuda kelahiran Demak pada tanggal 8 Februari 1986. Lutfi panggilannya. Melihat kondisi ekonomi sektor pertanian buah-buahan di daerahnya dikuasai oleh impor buah, Lutfi prihatin sekali.
Dalam batinnya, kenapa tidak ada petani yang mau jadi petani buah-buahan. Lutfi punya ide untuk menanam buah-buahan meskipun dia hanya punya tanah sempit di belakang rumahku. Tanpa pengalaman dalam bidang tanaman buah organik, dia memberanikan untuk mulai jadi petani buah-buahan.
Sayangnya, dua tahun kemudian, Lutfi gagal untuk bisa panen buah melon. Tak mau menangisi kegagalan, Lutfi bangkit untuk belajar tentang budaya hidroponik dari komunitas dan dukungan Pupuk Kaltim untuk membuat suatu rumah kaca atau greenhouse hidroponik.
Dari satu greenhouse berhasil dikembangkan menjadi lima greenhouse. Greenhouse itu disebut Bara Farm. Hasil dari sayuran organik mencapai 30-50 per hari, sedangkan melon mencapai 1,5-2 ton per bulan, untuk 500-700 pelanggan.
Meskipun Lutfi sudah berhasil jadi duta petani milenial Kalimantan Timur, dia tak berhenti untuk tetap memberikan dan membagikan ilmunya kepada warga sekitar. Perjuangannya telah mendapat dukungan dari Pupuk Kaltim untuk mengedukasi warga dalam pertanian melon.
Dikutip dari mitrabertani.com, kisah seorang anak muda lain yang bernama lengkap, Pulung Widi Handoko. Widi panggilan akrabnya.
Pemuda ini berusia 25 tahun berasal dari Kecamatan Dukun, Magelang. Dia lulus sebagai sarjana pertanian di Universitas Gajah Mada.
Sejak usia dini, dia bergelut dengan sawah. Ketika pulang sekolah, dia diminta membantu ayah untuk mencangkul, menanam bibit, membersihkan rumput liar, mengangkut hasil panen dengan tubuh kecilnya.
Meskipun, dia belum menguasai ilmu pertanian, tapi panggilan jiwanya untuk bertani sudah ada. Sejak kecil Widi sering diajak ayah ke sawah.
Berbekal dari ilmu teknologi pertanian dan tekad kerasnya, Widi pun punya rencana untuk menggarap tanah sekitar 15 ha untuk menanam tanaman sayuran organik yang digemari oleh para ibu rumah tangga.
Selain itu ia jadi pemasok pasar swalayan yang membutuhkan produknya.
Meskipun tanah lahan garapannya tidak luas, tapi Widi sudah paham bagaimana menanam jenis tanaman yang tepat sesuai dengan jenis tanahnya.
Dikutip dari pupukkaltim.com, petani milenial seperti Widi menggarap lahannya dengan menggunakan salah satu pupuk, Ecofert.
Ecofert adalah produksi unggulan PT Pupuk Kaltim. Pupuk tersebut merupakan mikroorganisme unggulan yang sangat bermanfaat bagi kesuburan tanah.
Unsur hara tanah dapat ditingkatkan dan efisiensi pemupukan dan terpenting tak perlu menggunakan banyak NPK. Manfaat Ecofert adalah kondisi lahan sangat terawat.
Widi berhasil mempekerjakan 50 karyawan untuk mengatur pembibitan, pemupukan, hingga perawatan dan pemasarannya.
Tanpa disangka, hasil panen dari 2 hektar tanah itu dapat memanen 900 kg cabe rawit setiap kali petik .
Panen cabe rawit dijual dengan harga cukup tinggi Rp80.000 per kg dan setelah dikurangi biaya-biaya produksi, ada keuntungan untuk dibagikan kepada karyawan yang telah berkontribusi membantunya.
Itulah kisah-kisah inspiratif dari petani milenial yang berjuang keras untuk mencapai impiannya. Tak kenal lelah, berjuang melawan tantangan jadi motivasi bagi kita semua untuk bisa berkontribusi dalam sektor pertanian .
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.