Uang di Telapak Tangan Perempuan

dokumentasi pribadi

Like

Lima tahun yang lalu (2015), seorang ibu yang sudah berusia 67 tahun ditinggal sang suami karena kematian. Tentu bukan hal yang mudah untuk menjalani kehidupan berikutnya. Apalagi, suaminya bukanlah mantan pegawai yang mewariskan pensiun setiap bulannya.

Untungnya, suami tersebut meninggalkan sejumlah dana dan aset yang diwariskan pada istrinya.

Beberapa waktu berselang, setelah pemakaman sang suami, anak-anaknya mengantarkan ibu tersebut ke sebuah bank pemerintah. Di sana, anak-anaknya membantu ibu untuk membuka rekening atas namanya sendiri, sekaligus menempatkan sebagian dana dan hasil penjualan asset yang ditinggalkan sang suami pada sebuah produk perbankan lainnya, yaitu deposito.

Tujuannya, agar Ibu tersebut dapat mengelola kekuangan peninggalan sang suami secara terencana, tetap mendapatkan bunga deposito yang dapat dinikmati setiap bulannya, serta mempermudah pengiriman uang dari anak-anaknya yang ada di rantau. Intinya, agar ibu tersebut tetap berdaya secara ekonomi.

Ternyata, cara ini sangat efektif. Ibu tersebut dapat merencanakan keuangannya dengan baik dan bijaksana.


Kehidupan ekonomi tetap berjalan normal walaupun sudah ditinggal sang suami. Lima tahun kemudian, ibu tersebut menyusul sang suami. Dana yang disimpan pada rekening dan deposito, ternyata tidak habis digunakan oleh ibu tersebut selama lima tahun. Bahkan, masih dapat digunakan untuk keperluan pemakamannya bulan Agustus 2020 lalu.

Bagi seorang perempuan yang sudah ditinggal suami, yang notabene adalah tulang punggung ekonomi, memiliki produk keuangan adalah suatu cara yang dapat membantu kehidupannya di masa mendatang. Dengan demikian hidupnya tetap terencana dan berdaya secara ekonomi.

Tetapi perlu dicatat, bahwa sesungguhnya kepemilikan produk keuangan bagi seorang perempuan, tentu bukan semata karena hal yang dipaparkan di atas. Seorang perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam hal ekonomi.

Termasuk dalam hal penempatan, pengelolaan dan pengembangan dana yang dimiliki. Baik itu dana yang diperoleh dari hasil bekerja, penghasilan dari suami, atau yang lainnya.

Untuk pemanfaatan produk keuangan, bagi seorang perempuan tentu tidak ada bedanya dengan seorang laki-laki. Artinya, tidak boleh ada diskriminasi bagi seorang perempuan berhubungan dengan produk keuangan tersebut.

Semua orang memiliki hak yang sama dalam pemanfaatan produk keuangan. Seorang wanita tentu boleh saja memiliki dan memanfaatkan produk keuangan seperti perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, fintech, dan yang lainnya. Tentu tetap memperhatian produk keuangan tersebut yang masih berada di bawah nauangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Nah, kalau kita bicara fakta dan data, berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilaksanakan OJK pada tahun 2019, khususnya untuk indikator yang berhubungan dengan gender, ternyata untuk tingkat inklusi keuangan dan tingkat literasi keuangan perempuan masih sekitar 75,15 persen dan 36,13 persen.

Artinya, penanaman kesadaran bagi masyarakat (secara khusus perempuan) dalam kaitannya dengan inklusi keuangan dan literasi keuangan, masih perlu menjadi perhatian.

Pertanyaannya, seberapakah urgensinya program inklusi keuangan untuk pemberdayaan perempuan?

Pertama. Berdasarkan proyeksi penduduk yang diperoleh dari hasil Survei Penduduk Antar Sensus (Supas) 2015, bahwa pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 269,6 juta jiwa.

Angka tersebut terdiri atas 135,34 juta jiwa laki-laki dan 134,27 jiwa perempuan. Dari angka tersebut, kita dapat simpulkan bahwa penduduk perempuan tahun 2020 hampir mencapai 50 persen dari keseluruhan jumlah penduduk penduduk Indonesia.

Kedua, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020- 2024, bahwa pemerintah kita berupaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur melalui percepatan pembangunan berbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandaskan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing.

Upaya tersebut tentu tidak mengabaikan keberadaan perempuan di negeri kita. Artinya, asas pemerataan perlu diperhitungkan.

Ketiga, pada era informasi dan digital seperti sekarang, upaya dan peluang perempuan di sektor ekonomi tentu sangat besar. Alasannya, ada banyak pekerjaan yang memungkinkan dilakukan di rumah saat ini.

Bahkan selama ini, tidak sedikit perempuan yang sudah bekerja dan terjun di dunia bisnis yang berbasis teknologi digital dan internet. Selain itu, tidak sedikit perempuan yang turut berkontribusi untuk mendukung ekonomi keluarga.

Ketiga alasan di atas, dapat dijadikan sebagai indikator bahwa perlunya perhatian khusus dari berbagai unsur dalam pengembangan program inklusi keuangan untuk pemberdayaan perempuan. Baik itu itu peran pemerintah, lembaga jasa keuangan, lembaga pemberi kerja, masyarakat luas, dan keluarga.

Kita tahu, ekonomi di telapak tangan perempuan ternyata dapat mendukung atau menopang ekonomi keluarga, masyarakat bahkan bangsa.



Sumber Referensi:

  • https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/09/13/jumlah-penduduk-indonesia-diproyeksikan-mencapai-270-juta-pada-2020 (diakses 29 Oktober 2020)
  • https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2414/kemen-pppa-dorong-kaum-perempuan-paham-literasi-keuangan (diakses 29 Oktober 2020)
  • https://republika.co.id/berita/qetwgq370/ojk-dorong-inklusi-keuangan-lewat-pemberdayaan-perempuan (diakses 28 Oktober 2020).