Partisipasi Wajib Pajak dalam Penentuan Tarif Pajak

Pajak (Sumber: www.hdfclife.com)

Like

Hambatan dalam pemungutan pajak memang masih sering terjadi. Hal ini dapat dilihat dari seringkali adanya piutang pajak yang sulit ditagih. Memang banyak faktor yang dapat menjadi pemicu hambatan dalam pemungutan pajak, misalnya perkembangan intelektual dan moral masyarakat, masyarakat yang mungkin sulit untuk memahami sistem perpajakan, sistem pengawasan yang tidak dapat dilaksanakan dengan baik, maupun perlawanan aktif yang berupa tax avoidance dan tax evasion.

Selain itu, hambatan dalam pemungutan pajak dapat disebabkan oleh kondisi masyarakat yang memang tidak mampu membayar pajak. Mungkin pula, masyarakat merasa tarif pajak dalam hal tertentu dianggap terlalu tinggi sehingga mereka tidak memiliki kemampuan untuk membayar pajak.

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat yang salah satu syaratnya adalah pemungutan pajak harus adil atau yang disebut dengan memenuhi syarat keadilan (Mardiasmo, 2006).

Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami kata adil. Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adil didefinisikan sebagai sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak. Sedangkan menurut Wikipedia, kata adil berasal dari bahasa Arab yang berarti berada di tengah – tengah, jujur, lurus, dan tulus. Secara terminologis, adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran.

Menurut Wikipedia, orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Lalu, apa yang dimaksud dengan syarat keadilan dalam perpajakan? Mardiasmo (2006) menyatakan bahwa adil dalam perpajakan adalah adil dalam perundang – undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing – masing. Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi Wajib Pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.


Mungkin masing – masing orang mempunyai persepsi yang berbeda – beda mengenai ukuran adil. Selanjutnya, bagaimana dengan tarif pajak di Indonesia dengan beberapa negara di dunia?

Misalnya Pajak Penghasilan, melansir dari Tempo (2017), di Indonesia memiliki PPh badan sebesar 25%, sedangkan PPh perorangan untuk penghasilan Rp. 36 juta sampai Rp. 50 juta sebesar 5 persen, PPh perorangan untuk penghasilan Rp. 50 juta sampai Rp. 250 juta sebesar 15 persen, PPh perorangan untuk penghasilan Rp. 250 juta sampai Rp. 500 juta sebesar 25 persen, dan PPh perorangan untuk penghasilan lebih dari Rp. 500 juta sebesar 30 persen.

Terdapat beberapa negara yang memiliki tarif Pajak Penghasilan yang jauh lebih tinggi, antara lain Denmark sebesar 55,56 persen, Spanyol sebesar 52 persen, Jepang sebesar 50,84 persen, Portugal 48 persen, Inggris 45 persen, dan Papua Nugini sebesar 42 persen. Jika membandingkan tarif Pajak Penghasilan Indonesia dengan negara – negara tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki tarif Pajak Penghasilan yang lebih rendah dibandingkan dengan negara – negara tersebut. Dengan demikian, jika hanya melihat dari sisi besarnya tarif Pajak Penghasilan di Indonesia, mungkin sudah tepat jika dibandingkan dengan negara – negara tersebut yang kondisi perekonomiannya sudah lebih baik.

Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, tarif PPh Badan di Indonesia tergolong lebih tinggi jika dibandingkan dengan beberapa negara tersebut. Berdasarkan The Business Times, pajak untuk perusahaan di Singapura sebesar 17 persen, Brunei Darussalam sebesar 18,5 persen, Thailand sebesar 20 persen, Vietnam sebesar 20 persen, Kamboja sebesar 20 persen, Malaysia sebesar 24 persen, Laos sebesar 24 persen, Myanmar sebesar 25 persen, dan Filipina sebesar 30 persen.

Dari data tersebut terlihat bahwa Indonesia yang memiliki tarif PPh Badan sebesar 25 persen menempati urutan kedua terbesar setelah Filipina yang sebesar 30 persen sedangkan Singapura merupakan negara dengan tarif yang paling rendah. Direktur Eksekutif Pusat Studi Ekonomi dan Perpajakan, Surya Prayoga, pada tahun 2019 menyatakan bahwa tarif pajak di Indonesia kurang bersaing jika dibandingkan dengan negara – negara di ASEAN sehingga hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia.

Belakangan ini, melansir dari Mediaindonesia.com tanggal 4 April 2020, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan pengenaan tarif 22 persen untuk penghitungan dan setoran angsuran pajak penghasilan badan atau PPh Pasal 25 tahun 2020 sesuai dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2020. Dalam Pasal 5 Ayat 1 pada Perpu tersebut menyatakan bahwa penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap dari sebelumnya 25 persen menjadi sebesar 22 persen yang berlaku untuk tahun pajak 2020 dan 2021.

Kemudian Perpu tersebut juga menyatakan bahwa tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap pajak 2022 diterapkan sebesar 20 persen. Kondisi ini tentu saja merupakan sesuatu yang sangat baik untuk Wajib Pajak Badan. Dengan tarif pajak yang lebih rendah tentu saja diharapkan dapat mengurangi hambatan dalam pemungutan pajak karena akan lebih meringankan beban Wajib Pajak dalam melaksanakan pembayaran pajak.

Meskipun demikian, belum tentu semua orang memiliki pendapat yang sama mengenai kebijakan dalam penetapan tarif pajak tersebut. Mungkin saja terdapat orang yang mempunyai pendapat berbeda karena masih ada tarif pajak perusahaan yang lebih rendah di negara lain, misalnya Singapura dan Brunei Darussalam bahkan terdapat juga negara – negara yang bebas dari Pajak.

Melansir dari Liputan6.com tanggal 29 Maret 2019, terdapat beberapa negara yang bebas dari pajak antara lain Uni Emirat Arab, Kepulauan Bahama, Bermuda, Andorra, dan Monako. Akan tetapi, pajak penting bagi suatu negara seperti yang didefinisikan oleh Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH dalam Mardiasmo (2006) bahwa Pajak adalah “iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Selain itu, pajak mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi budgetair dan fungsi mengatur (regulerend).

Dengan demikian, agar kebijakan dan tarif pajak yang ditetapkan dapat lebih sesuai dengan harapan masyarakat luas, maka diperlukannya partisipasi Wajib Pajak dalam penentuan suatu kebijakan dan tarif pajak. Partisipasi Wajib Pajak dalam penentuan tarif pajak dapat menjadi salah satu upaya untuk mengurangi hambatan dalam pemungutan pajak.

Terdapat berbagai organisasi non pemerintah resmi yang berkecimpung dalam berbagai jenis bidang usaha, misalnya Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Real Estate Indonesia (REI), Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI), Asosiasi Pengusaha Pertambangan Daerah (Aspperda), dan lain – lain.

Organisasi – organisasi non pemerintah tersebut dapat juga dilibatkan oleh pemerintah dalam menyusun dan menetapkan suatu kebijakan dan tarif pajak yang berkaitan dengan masing – masing industri. Misalnya, dalam penetapan kebijakan atau tarif suatu pajak yang berkaitan dengan industri perhotelan, maka dapat dilibatkan pula Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dalam menyusun kebijakan tersebut. Namun, untuk mewujudkan hal tersebut, tampaknya terlebih dahulu perlu adanya peraturan yang mengaturnya.