Di sebuah pagi yang diselimuti embun tipis dan suara jangkrik yang masih enggan berhenti, tangan-tangan kasar itu mulai menyentuh tanah. Tak banyak kata terucap, hanya helaan napas dan gemeretak cangkul yang menjadi musik pengiring. Di sanalah cerita kehidupan dirajut di antara tanah, benih, dan harapan.
Pertanian bukan sekadar urusan menanam dan memanen. Ia adalah nadi kehidupan, denyut yang tidak selalu terdengar, namun terasa. Setiap petani menyimpan kisah. Dari bagaimana ia menggantungkan nasib pada musim yang tak selalu bersahabat, hingga keteguhan hatinya menghadapi harga yang tak menentu. Namun, mereka tetap melangkah, karena mereka tahu: tanah tidak pernah ingkar.
Menghidupkan Tanah, Menghidupkan Harapan
Ketika seseorang memutuskan untuk bertani, sesungguhnya ia sedang membuat perjanjian dengan alam. Bukan sekadar untuk memperoleh hasil, tapi untuk menjaga keseimbangan, untuk memberi makan banyak orang tanpa diminta dikenang. Di ladang yang luas atau bahkan sebidang tanah kecil di belakang rumah, petani menanam lebih dari sekadar padi atau sayuran—mereka menanam harapan.
Tak sedikit dari mereka yang bangun sebelum fajar, menyingsingkan lengan baju, dan menyapa pagi dengan langkah pasti. Mereka tidak menunggu keberuntungan datang; mereka menciptakan keberuntungan dengan keringat dan kesabaran. Setiap tetes air yang mengalir ke parit adalah bagian dari doa. Setiap benih yang ditanam adalah surat cinta untuk masa depan.
Hidup di desa, dekat dengan tanah, memberi pemahaman bahwa segala sesuatu membutuhkan waktu. Tidak ada yang instan. Semua proses memiliki musimnya sendiri. Dari menabur, merawat, hingga memanen, semua mengajarkan arti kesabaran dan keikhlasan. Apa yang ditanam tidak selalu tumbuh, tapi itu tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti mencoba.
Begitulah hidup. Kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan. Terkadang, kita gagal meskipun sudah berusaha. Tapi justru dari situlah kita belajar, tumbuh, dan menjadi kuat. Seperti petani yang kembali menanam meski musim lalu gagal panen. Ia tidak menyerah, karena ia percaya: musim akan berganti, dan harapan akan tumbuh kembali.
Dari Desa untuk Dunia
Di balik kehidupan kota yang serba cepat dan modern, ada tangan-tangan petani yang menyuapi dunia. Tanpa mereka, rak-rak pasar akan kosong, meja makan akan sepi. Sayangnya, tidak banyak yang menyadari peran besar mereka. Padahal, dari ladang-ladang sunyi itu, kehidupan banyak orang dimulai.
Sudah saatnya kita memandang pertanian bukan sebagai pekerjaan kelas dua, tetapi sebagai profesi mulia yang membentuk peradaban. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai petaninya.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.