Swasembada dan ketahanan pangan nasional seringkali terdengar seperti satu kesatuan korelasi. Hingga kemudian memunculkan sebuah pemikiran bahwa swasembada pangan merupakan syarat untuk mencapai ketahanan pangan.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah memang swasembada merupakan sebuah keharusan atau sekadar pilihan untuk mencapai ketahanan pangan nasional?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, kita pahami dulu makna korelasi keduanya.
Makna Swasembada Pangan dan Korelasinya dengan Ketahanan Pangan
Swasembada pangan adalah kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya tanpa bergantung pada negara lain atau impor.
Di mana tujuan adalah tercapainya kemandirian, kestabilan harga, dan melindungi negara dari ancaman kelangkaan pangan dan krisis global.
Sekilas, swasembada pangan sekadar pilihan jika konteksnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Singkatnya, jika mampu beli kenapa tidak?
Namun, berbicara soal pemenuhan kebutuhan pangan negara tidak sesederhana itu, Be-emers! Bisa dibayangkan, bagaimana jika negara kita untuk memenuhi stok beras harus mengimpor dari negara lain.
Kemudian negara pengimpor tersebut mengalami konflik, baik karena permasalahan geopolitik atau perubahan iklim sehingga menimbulkan krisis. Kira-kira apa yang terjadi selanjutnya?
Tentu, negara kita akan langsung terdampak karena negara tersebut menghentikan ekspor pangannya. Lantas bagaimana dengan negara kita dalam memenuhi kebutuhan pangan? Bagaimana kira-kira gejolak ekonomi yang terjadi?
Dari hal ini, kita bisa memahami bahwa swasembada pangan bukan sekadar pilihan tetapi merupakan sebuah keharusan.
Tantangan Mencapai Swasembada Pangan
Untuk mencapai
swasembada pangan ada beberapa tantangan yang harus dihadapi, antara lain:
1. Tidak tersedia lahan yang cukup untuk pertanian
Hal ini disebabkan banyak faktor salah satunya adalah bergesernya atau alih fungsi lahan pertanian untuk industri, permukiman dan lain sebagainya.
Akibatnya lahan pertanian menjadi berkurang. Dengan sedikitnya lahan hasilnya pun berkurang sehingga tidak cukup memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
2. Berkurangnya minat masyarakat untuk bekerja di sektor pertanian
Sudah menjadi rahasia umum jika generasi muda kurang berminat menjadi petani. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah anggapan bahwa sektor pertanian tidak menjanjikan masa depan.
Dengan tidak adanya regenerasi petani muda, pemenuhan kebutuhan masyarakat semakin sulit diatasi. Bisa dibayangkan bukan, bagaimana dampak selanjutnya?
3. Ketergantungan Pada Pupuk dan Benih Impor
Benih dan pupuk merupakan aspek penting dalam pertanian. Untuk menghasilkan panen yang berkualitas dibutuhkan benih dan pupuk.
Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika kekurangan pasokan pupuk, baik karena keterlambatan pengiriman karena terkendala infrastruktur yang kurang memadai atau kurangnya pasokan terkendala konflik geopolitik global? Bagaimana dengan nasib pertanian bangsa kita?
Demikianlah, jika benih dan pupuk ini bergantung pada impor, maka selanjutnya kita akan kembali ke permasalah awal dalam korelasi swasembada pangan dan kemandirian pangan itu sendiri.
Dari hal ini, kita bisa memahami bagaimana pentingnya kemandirian ekosistem pertanian yang berkelanjutan, bukan?
Mengenai hal tersebut sinergi swasta dan pemerintah sangat penting. Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan regulasi dan insentif benih unggul dan stabilitas harga pupuk.
Sementara pihak swasta seperti Pupuk Kaltim juga berperan besar dalam mendukung program swasembada pangan nasional.
Keterlibatan Pupuk Kaltim terlihat dari bagaimana ia memproduksi dan mendistribusikan pupuk berkualitas tinggi dan menjaga ketersediaan pupuk bagi petani di berbagai daerah.
Tak berhenti sampai di situ, Pupuk Kaltim juga mengedukasi masyarakat khususnya petani, melakukan pelatihan penggunaan pupuk berimbang, hingga mendukung praktik pertanian berkelanjutan.
Hal tersebut merupakan contoh kongkrit peran serta pupuk Kaltim dalam upaya mensukseskan swasembada pangan.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.