
Petani Jadi Kunci Kedaulatan Pangan (Sumber: Unsplash)
Likes
Katanya, kita tinggal di tanah yang kayu di lempar aja bisa tumbuh. Tapi, kenapa pangan kita seperti masih tertinggal ya? Modal kita buat produksi pangan sebenarnya sudah cukup. Mulai dari iklim, lahan, sampai sumber dayanya.
Nyatanya, semua potensi itu belum cukup bikin pangan kita berdiri di atas kaki sendiri, Be-emers. Selama ini, kita terlalu fokus pada hasil panen nya aja. Sementara ekonomi petani sering dilupakan bahkan diabaikan.
Pemerintah juga tidak tinggal diam loh, Be-emers! Berbagai strategi juga sudah dirancang untuk memperbaiki kondisi ini. Pertanyaannya, sejauh apa sih program-program itu bisa menjawab keresahan kita semua?
Idealis dan Realitas Program Pangan Pemerintah
Swasembada pangan merupakan salah satu bentuk fokus utama pemerintah Indonesia dalam memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri tanpa bergantung pada impor. Harapannya sih produksi bisa meningkat lewat pemanfaatan sumber daya lahan dan tenaga kerja pertanian yang kompeten.Presiden Prabowo dan Wakilnya Gibran sudah menggaungkan ini lewat Astacita. Periode pemerintahan mengangkat kembali program swasembada ini menjadi prioritas utama dalam memperkuat pertahanan dan mendorong kemandirian bangsa di berbagai sektor.
Targetnya? Pemerintah optimis bisa tercapai dalam 4-5 tahun ke depan, meski tantangan di lapangan enggak main-main. Jadi, apa aja langkah konkretnya?
Pertama, pemerintah mulai kembangkan kawasan food estate yang dimulai dari Papua dan rencananya bakal melebar ke Kalimantan juga tahun ini. Fokus utamanya ada di tanaman kayak padi, jagung, kedelai, singkong, sampai tebu. Kedua, penyediaan sarana produksi pangan petani. Mulai dari benih unggul, pupuk, sampai pestisida.
Ketiga, sektor pertanian mulai dimodernisasi lewat pembangunan infrastruktur, teknologi terpadu, dan digitalisasi. Ada dukungan juga dari sisi keuangan nih, Be-emers. Pemerintah nyiapin lembaga pembiayaan khusus buat usaha tani seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) supaya petani enggak lagi kesulitan cari modal.
Kalau semua program ini berjalan mulus, pangan dalam negeri bakal aman bahkan bisa surplus. Kenyataannya? Enggak semulus itu, Be-emers.
Food estate memang ada hasilnya, tapi banyak juga yang gagal panen bahkan berdampak negatif pada lingkungan. Masalah ini muncul karena jenis lahannya enggak cocok sama tanamannya.
Tenaga terlatih juga masih terbatas apalagi kalau sudah bicara soal lahan gambut yang butuh perlakuan khusus. Sektor lingkungan pun bisa-bisa terkena imbasnya. Soalnya, lahan yang dulunya kawasan hutan konservasi sekarang dipakai buat pertanian. Kalau enggak diawasi lebih ketat, bisa-bisa makin rusak.
Bagaimana dengan segi sosial? Pendekatan ke masyarakat adat yang tinggal di sekitar perlu dilakukan mengingat potensi konflik bisa saja terjadi. Enggak cuma soal lahan dan teknologi, kebutuhan dasar seperti pupuk pun jadi tantangannya sendiri. Mulai dari alokasi pupuk dan kebutuhan di lapangan yang enggak sesuai, keterlambatan distribusi, serta proses administrasi yang sulit membuat petani sulit mendapatkan hak nya.
Masalahnya enggak berhenti di situ, Be-emers. Banyak petani kecil kesulitan buat akses alat dan teknologi pertanian karena modalnya terbatas, infrastrukturnya belum siap, dan kurangnya pelatihan. Sehingga modernisasi dianggap hanya akan dinikmati oleh sebagian kecil pelaku usaha pertanian. Sementara mayoritas petani tetap tertinggal.
Berbagai program memang sudah dirancang. Tapi realitanya, petani masih sering dihadapkan pada situasi yang sulit. Harga pupuk bisa melonjak saat musim tanam, sementara harga jual hasil panen sering kali jatuh. Tak jarang modal yang dikeluarkan pun tidak kembali.
Petani hanya bisa mengelus dada mendapatkan bagian kecil dari nilai ekonomi yang beredar di rantai pangan. Ironi ya, Be-emers? Di tengah gencarnya slogan kedaulatan pangan.
Tantangan Bertani di Tengah Krisis Iklim dan Alih Fungsi Lahan
Petani sekarang menghadapi tantangan besar karena perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang berdampak negatif ke produksi pangan di Indonesia. Menurut prediksi resmi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika BMKG, hujan masih turun di musim yang seharusnya kemarau. Kondisi ini dikenal sebagai kemarau basah dan diperkirakan berlangsung sampai Agustus 2025.Meski enggak seintens musim hujan biasa, BMKG juga sudah menyiapkan tindakan mitigasi supaya petani siap menghadapi kemarau yang akan datang. Dengan cara, petani bisa menyesuaikan jadwal tanam dan varietas tanaman yang tahan kekeringan. Pengelolaan air juga perlu dimaksimalkan agar produktivitas pertanian tetap terjaga walaupun minimnya curah hujan.
Di sisi lain, pertambahan penduduk membuat lahan sawah ikut berkurang. Banyak lahan sawah yang berubah fungsi jadi perumahan. Hal ini justru mempersempit ruang produksi pangan. Petani pun seolah digusur paksa sehingga berujung pada turunnya penghasilan. Tak hanya tempat tinggal, meningkatnya jumlah penduduk juga ikut meningkatkan timbulan sampah.
Dalam beberapa kasus, tak sedikit pinggiran lahan sawah yang bahkan dikonotasikan sebagai tempat pembuangan sampah akhir liar. Hal ini menyebabkan menurunnya kualitas tanah pertanian di sekitarnya. Hasil panen pun ikut jatuh dan lagi-lagi petani menjadi pihak yang dirugikan.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.