Likes
Dengan adanya pandemi yang terjadi saat ini, seluruh umat Muslim khususnya di Indonesia saat ini dihimbau untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri di rumah saja dengan orang terdekat. Himbauan untuk tidak mudik pun sudah digencarkan oleh pemerintah sejak lama.
Sudah pasti tidak ada agenda silaturahmi ke rumah keluarga dan sanak saudara. Nantinya, kebiasaan orang Indonesia membeli baju lebaran yang biasanya dijadikan ajang “show off” saat silaturahmi lama-kelamaan menjadi berkurang dan berganti jadi normal baru menjadi lebaran tanpa baju lebaran.
Entah siapa orang pertama yang menjadikan kewajiban beli baju baru untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri. Tapi yang jelas sejak kecil kebanyakan dari kita selalu dibelikan baju baru khusus untuk lebaran kalau kita biasa menyebutnya.
Mungkin dulunya sebagian orang tua menjadikan momentum lebaran untuk memberikan hadiah kepada anaknya yang telah berhasil menjalankan ibadah puasa. Tapi begitu beranjak dewasa hal itu malah menjadi kewajiban untuk membeli baju baru saat lebaran.
Padahal sebenarnya tidak hanya dalam momen lebaran pun wanita suka kepincut baju diskonan di department store atau online shop. Tanpa pikir panjang dan sebagian besar karena FOMO (Fear of Missing Out) gejala psikologis yang saat ini sedang marak dikalangan millenial, yaitu rasa takut dianggap tidak update atau tidak mengikuti hal-hal yang sedang trend saat ini. Ditambah momentum hari raya menjadi alasan jadi impulsive buying.
Hal inilah yang membuat industri fashion semakin menggebu-gebu terutama di Indonesia. Semakin banyak brand luar negeri yang secara resmi masuk ke Indonesia, belum lagi brand lokal yang semakin menjamur. Tentu fast fashion sangat berpengaruh besar terhadap pencemaran lingkungan.
Berdasarkan survey smartasn.org, hingga 95 persen dari produk tekstil berakhir di TPA sebenarnya masih bisa didaur ulang. Hal ini terjadi karena banyak dari kita yang dengan mudahnya membuang baju lama tanpa memilah-milah dan akhirnya jadi berakhir di TPA.
Sebenarnya pada hakikatnya baju baru bukan berarti harus membeli baru loh. Bisa jadi baju lama kita yang masih terlihat bagus di modifikasi sedikit atau di mix and match dengan busana lain yang bisa mengesankan model berbeda layaknya baju baru.
Mengutip dari lirik lagu yang populer tahun 90 an dinyanyikan oleh Dea Ananda, "Baju baru Alhamdulillah, untuk dipakai di hari raya. Tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama." Nah dari penggalan lirik ini saja sudah sangat jelas kan kalau tidak beli baju lebaran itu tidak masalah karena masih ada baju yang lama.
Berpanutan dari metode konmari, memilah-milah isi lemari dan mengeluarkan baju yang sudah tidak "sparks joy" menurut kita bisa jadi baju baru untuk orang lain, dengan menyumbangkan baju lama kita yang masih layak pakai ke orang lain. Dengan begitu dapat menambah masa pakai baju dan tidak terbuang sia-sia di TPA.
Komentar
09 Jun 2024 - 14:43
Artikel ini sangat relevan dan memberikan sudut pandang yang penting tentang perayaan Lebaran di tengah situasi pandemi saat ini. Saya sangat setuju bahwa kita bisa menjadikan "normal baru" dengan tidak membeli baju baru setiap Lebaran, tetapi lebih fokus pada makna dan nilai-nilai sebenarnya dari perayaan tersebut. Artikel ini memberikan inspirasi untuk lebih bijaksana dalam mengelola keuangan dan menghargai apa yang kita miliki. Terima kasih atas artikel yang bermakna ini! ????????
14 Aug 2023 - 19:32
Setuju juga ini, kalau kita bongkar-bongkar lemari kita, betapa banyak baju yang sudah kita malas pakai, tetapi masih tersimpan. Alangkah baiknya, disumbangkan saja ke orang-orang yang lebih membutuhkan. Sedekah itu pahalanya besar cuy!
18 May 2020 - 17:39
Ntap gaaannn
18 May 2020 - 17:32
Artikel menarik