Sambil Nonton Film, Belajar Investasi Saham

menonton film di smartphone (sumber gambar: https://www.afidora.com)

menonton film di smartphone (sumber gambar: https://www.afidora.com)

Like

Menghabiskan akhir pekan dengan menonton film memang begitu menyenangkan. Ada sejumlah film yang bisa dipilih sesuai dengan selera masing-masing. Mulai dari yang bertema cinta-cintaan ala Korea hingga yang menegangkan seperti film Wasp Network.

Meski begitu, terdapat satu alternatif film yang layak ditonton, terutama bagi anda yang ingin mengenal investasi saham. Siapa tahu saja, dengan menyaksikan film-film ini, anda tak hanya bisa menemukan sebuah cerita yang bermakna, tetapi juga memperoleh pengetahuan seputar investasi saham. 

Film yang mengangkat tema investasi saham memang cukup banyak jumlahnya, tetapi tidak semuanya meninggalkan kesan yang “mendalam” setelah ditonton. Di antara sekian judul film tadi, saya mencatat setidaknya ada empat yang menarik untuk saksikan.


1. Becoming Warren Buffett (2017)

Ingin mengetahui kehidupan pribadi dari Warren Buffett? Tontonlah film ini, sebab film ini memotret sejarah investor yang kerap dijuluki “The Oracle of Omaha” tersebut. 

Film ini dibuka dengan adegan ketika Buffett bercerita tentang kehidupan masa mudanya. Lewat jalinan narasi yang dituturkan langsung oleh Buffett, kita dibawa “mengarungi” masa lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak pada tahun 1930-an. 

Dari sini, kita jadi tahu bahwa sejak muda, Buffett sudah bekerja keras. Ia pernah menjadi loper koran, penjual Coca-cola, dan pedagang di toko kakeknya. Akibatnya, naluri bisnisnya pun terasah dengan baik, dan hal inilah yang menjadi salah satu “bekal” yang digunakannya dalam menjalankan sebuah perusahaan.  

Hal menarik lainnya ialah kita bisa melihat kantor Berkshire Hathaway dari dekat. Jika diperhatikan dengan saksama, maka akan tampak bahwa kantor tempat Buffett bekerja ini begitu sederhana. Nyaris tidak ada barang mewah di dalamnya. Hal ini tentu bisa dimaklumi sebab Buffett adalah tipe orang yang menyukai efisiensi. 

Tak hanya itu, lewat film ini, kita juga berkesempatan mengenal keluarga Buffett. Secara bergiliran, anak-anak Buffett menceritakan peristiwa penting dan perilaku ayahnya. Semuanya disampaikan dengan begitu personal dan jujur.

 
 

2. The Pursuit of Happyness (2006)

Diperankan dengan begitu apik oleh Will Smith, film ini menguak kehidupan Chris Gardner, seorang pialang saham yang sukses. Meskipun masa tuanya berkecukupan, namun ketika masih muda, Gardner ternyata sempat hidup morat-marit. Buktinya, ia pernah gagal sebagai sales, masuk penjara, bercerai dengan istrinya, dan bahkan sempat tinggal di wc stasiun bersama putranya karena tidak punya rumah.

Dalam kondisi krisis demikian, Chris kemudian melamar pekerjaan menjadi pialang saham di perusahaan Dean Witter Reynolds. Ia diterima sebagai karyawan trainee. Agar dipilih jadi karyawan tetap, ia mesti lulus tes dan berkontribusi bagi perusahaan.

Chris pun bekerja keras. Ia rajin menghubungi klien, membaca buku di bawah cahaya temaram, dan menjual alat kesehatan kepada para dokter sebagai pemasukan tambahan. Semuanya dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai orangtua.

Lewat film ini, kita tak hanya menyaksikan sisi kemanusiaan yang begitu menyentuh, tetapi juga cara kerja pialang saham era tahun 1980-an. Dari sejumlah adegan terlihat bagaimana sibuknya kantor pialang saham, karena setiap menit, selalu saja ada telepon yang berdering. Alhasil, dengan menonton film ini, kita jadi bisa memasuki “relung kehidupan” seorang pialang saham yang cukup kompleks.
 


3. The Wolf of The Wall Street (2013)

Uang. Seks. Saham goreng. Semua hal itu ditampilkan cukup “vulgar” dalam film ini. Jika The Pursuit of Happyness memperlihatkan bisnis pialang saham yang terkesan elegan, maka film yang mengangkat kisah Jordan Belfort ini menunjukkan hal yang sebaliknya. Film ini menyingkap “sisi kelam” perusahaan pialang saham.

Kisah ini dimulai ketika Jordan Belfort merintis karier sebagai pialang saham. Setelah dipecat dari pekerjaannya, ia kemudian mendirikan perusahaan sekuritas sendiri, yang bernama Stratton Oakmont. 

Berbeda dengan perusahaan lainnya, Belfort tidak memperkerjakan orang-orang dengan latar pendidikan yang baik, tetapi justru merekrut orang-orang bermasalah, seperti pengedar narkoba, mantan narapidana, dan sebagainya. Alhasil, layaknya sarang serigala, suasana kantornya selalu ramai dengan obrolan yang sarkas.

Meski begitu, anehnya, perusahaan ini mampu “naik daun” dengan cepat. Hal ini bisa terjadi karena perusahaan tersebut memasarkan “saham-saham gorengan” kepada nasabahnya. 

Saham yang tidak jelas asal usulnya tadi ternyata laku keras karena Belfort sudah mengajari anak buahnya sebuah teknik negosiasi agar orang-orang mau membelinya. Alhasil, lewat komisi yang besar dari penjualan saham gorengan, perusahaan Belfort pun membesar dan merekrut banyak orang.

Leonardo DiCaprio tampak begitu menjiwai perannya sebagai Jordan Belfort. Ia tak hanya bisa memunculkan karakter Belfort yang pantang menyerah, tetapi juga menyingkap bobroknya bisnis pialang saham. Alhasil, lewat film ini, kita jadi mengetahui risiko yang mungkin saja terjadi dalam berinvestasi saham, terutama yang berasal dari risiko manajemen. 
 


4. The Big Short (2015)

“Cukup teknis.” Itulah kesan yang muncul di benak saya setelah saya selesai menyaksikan film ini. Untuk mencerna isi film yang masuk nominasi oscar ini, memang tidaklah mudah. Saya pribadi perlu menonton dua kali agar bisa paham isinya. 

Meskipun banyak “dibumbui” penjelasan yang agak jlimet, namun film ini cukup menarik ditonton, terutama bagi anda yang penasaran dengan asal mula krisis finansial pada tahun 2008 silam. Ya, film ini memang mengupas krisis tersebut secara lebih detail. 

Lewat jalinan adegan yang ditampilkan, kita jadi tahu bahwa krisis yang menghancurkan perekonomian Amerika Serikat dan sejumlah negara besar lainnya tersebut bisa terjadi karena bank salah mengelola kredit pemilikan rumah. 

Sebelum terjadi peristiwa itu, di Amerika Serikat, pasar properti memang sedang booming. Bank-bank di sana royal memberikan kredit, sehingga orang-orang bisa mempunyai rumah dengan mudah. Alhasil, karena rumah mudah dibeli, sementara stoknya terbatas, harga rumah pun terus-menerus melambung. 

Inilah yang menciptakan “bubble ekonomi”. Semakin lama waktunya, maka semakin besar ukurannya. Akhirnya, karena sudah sampai batasnya, maka bubble tadi pecah. Bank-bank yang menyalurkan kredit susah melakukan penagihan karena nasabahnya tidak sanggup melunasi cicilan rumah yang terlampau tinggi. Akibatnya, satu per satu bank besar, seperti Lehmann Brothers, bertumbangan.

Meskipun nyaris tidak ada drama kemanusiaan di dalamnya, namun film ini memberi pelajaran yang begitu berharga tentang menangani bisnis perbankan. Sejak saat itu, perbankan pun mulai berbenah, agar krisis serupa tidak terulang pada masa depan. 
 

***
Menonton film-film di atas memang tidak langsung membuat kita jago dalam berinvestasi saham, tetapi setidaknya, lewat serangkaian adegan di dalamnya, kita jadi sedikit mengetahui soal investasi saham beserta semua risiko yang menyelimutinya. Alhasil, hal ini bisa menjadi referensi yang menarik untuk memahami investasi saham yang terkadang penuh dengan “drama”, layaknya sebuah sinema Korea.

Salam.