Enggak Mau jadi Karyawan Palugada? Ini Tips Supaya Terhindar!

Karyawan palugada kerap merasa stres akibat jobdesk yang terlalu banyak (Foto Freepik.com)

Like

Ada kebanggaan tersendiri ketika bisa dan mampu mengerjakan banyak hal. Multitalenta istilah kerennya. Namun, bagaimana jika hal tersebut justru dimanfaatkan perusahaan. Sehingga muncul fenomena "karyawan palugada."

Hal ini sering ditemukan di perusahaan startup yang cenderung dinamis dan penuh dengan inovasi. Sebutan "palugada," singkatan dari "apa lu mau, gua ada," yang menggambarkan situasi di mana seorang karyawan harus mengerjakan berbagai tugas di luar job description. 

Menariknya karyawan tersebut tidak menyadari kalau mereka sedang dieksploitasi. Mereka merasa bangga bisa menangani banyak pekerjaan.

Namun, jika hal tersebut berulang dengan waktu yang lama-kelamaan, karyawan palugada akan meras kelelahan, tidak dihargai, dan terjebak dalam pekerjaan yang terlalu banyak. Lantas bagaimana cara menghindari situasi seperti ini?

Baca Juga: Mengurangi Drama Pemilik Usaha dengan Karyawan
 

Apa itu Karyawan Palugada?

Fleksibilitas adalah kunci di perusahaan startup. Namun, fleksibilitas sering berubah menjadi ketidakjelasan peran dan tanggung jawab.


Karyawan palugada adalah karyawan yang secara tidak resmi 'diwajibkan' mengerjakan semua hal, dari tugas administratif, operasional, hingga hal-hal yang sama sekali tidak berhubungan dengan job description mereka. 

Misalnya saja, seorang desainer grafis yang juga harus mengurus media sosial, membuat konten video, dan bahkan terlibat dalam kegiatan pemasaran. Sekilas tugas tersebut terlihat menyenangkan tetapi hal tersebut sebenarnya melanggar aturan.

Karena ia mengerjakan hal di luar job desc. Hal tersebut kemudian menjadi masalah jika tidak karyawan ini akhirnya kehilangan fokus pada tugas utamanya dan bisa merasa tidak dihargai.

 

Karyawan Palugada Termasuk Eksploitasi di Dunia Kerja?

Eksploitasi terjadi karena perusahaan menggunakan kemampuan karyawan secara berlebihan tanpa memberikan imbalan yang seimbang, baik dalam bentuk gaji, jam kerja yang lebih fleksibel, atau kesempatan karir. 


Karyawan palugada dianggap mampu melakukan segala hal tanpa dihargai sesuai dengan kontribusinya. Hal ini tentu merugikan karyawan sehingga mengganggu kesehatan fisik dan mental mereka.

Ironisnya perusahaan tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi karyawan. Tuntutan dari perusahaan untuk bergerak cepat dan menyesuaikan diri sering kali menjadi alasan bagi karyawan untuk 'mengambil alih' berbagai tugas.

Namun, hal tersebut tidak boleh dibiarkan dan diterima begitu saja. Karyawan harus menurut kompensasi yang seimbang dengan pekerjaannya.