Sawah bukan sekedar tempat menanam Padi, tapi menanam Harapan (Sumber gambar: Prompt AI, Edit sendiri)
Likes
Hari itu, aku terjatuh di sawah—lagi. Ketiga kalinya dalam minggu ini.
Tapi bukan itu yang paling menyakitkan. Dari kejauhan, beberapa temanku lewat sambil tertawa dan membicarakanku.
"Pff… Lihat tuh, si gadis lumpur lagi berendem. Lagi perawatan kecantikan ya? Hahaha!" ejek mereka kepadaku.
Aku geram. Menahan amarah sambil menggigit bibir, menahan kata-kata yang nyaris keluar dari ujung lidah.
Untung saja, seorang pria mendekat dan mengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Aku meraihnya dan bangkit.
"Udah, diemin aja. Kebiasaan mereka tuh, punya mulut enggak pernah disleting," ujarnya sambil melirik tipis ke arah mereka.
Aku membalasnya dengan senyum tipis, lalu menghela napas "Iya, kita enggak ada waktu buat ngurusin mereka… Ayo, kita kembali kerja."
---
Sebelumnya, kenalan dulu, yuk?
Aku Almira, gadis desa sekaligus anak seorang petani. Ayahku adalah petani padi, dan ibuku bekerja di pasar.
Dan yang tadi menolongku… Namanya Joko. Teman masa kecilku yang selalu ada saat aku butuh. Dan kalau kalian tanya, aku sedang apa?
Sekarang aku berada di ladang milik ayah. Inilah keseharianku, menanam padi dibantu dengan Joko. Aku mulai membantu sejak usia dua belas tahun. Ayah tak pernah meminta, tapi aku sendiri yang memutuskan untuk menolong nya.
Tahun-tahun sebelumnya terasa sama. Tapi tahun ini… berbeda.
Desa kami mengalami krisis pupuk, dan kami nyaris gagal panen. Masalah ini terus berlangsung—dari minggu ke minggu, hingga ke bulan-bulan berikutnya.
Aku khawatir kalau suatu saat nanti, mungkin mimpi buruk itu akan terjadi... Kekhawatiran itu memakan ku hingga ke dalam pikiran ku.
"Oi! Ngelamunin apa?? Kamu capek apa gimana?" ucap Joko, sembari menyenggol ku.
Joko menyadarkan ku yang hampir larut dalam pikiran ku. "Ahh, gak ada apa apa kok! A-ayo kita lanjutin." balas ku sembari menggelengkan kepala guna membuat ku sadar.
Rasanya, hari berlalu begitu cepat—sama seperti biasanya, hingga esok hari pun tiba.
Hari ini sama seperti biasanya, aku bangun di pagi hari, membantu ibu menyiapkan dagangan nya, bersiap dan pergi sekolah. Aku bersekolah di SMA Negeri 21, bersama Joko tentu nya.
Waktu berlalu cepat, hingga akhirnya jam istirahat tiba.
Aku duduk berdua dengan Joko di bangku taman belakang sekolah, menyantap bekalku sambil membicarakan hal-hal normal.
Tapi momen tenang itu seketika runtuh… saat suara keras terdengar dari belakang kami.
"Aduh, lihat deh si gadis lumpur itu! Kemarin aku liat dia jatuh di sawah. Kayak enggak ada kerjaan banget, haha!" ucap salah satu siswi dengan keras, sengaja agar aku mendengar nya.
Temannya membalas denga nada sinis.
"Haha, bener tuh. Masa mudanya dihabisin cuma buat main sama kebo? Ih… sedih banget deh."
Kalimat itu sangat menampar. Hatiku jelas sakit mendengarnya. Campuran kesal, malu, dan sedih menggenang di dadaku. Rasanya aku ingin menghilang saja.
Namun tiba-tiba, Joko berdiri. Suaranya lantang, dan penuh tekanan.
"Memangnya kenapa kalau dia di sawah?" tanyanya dingin.
“Setidaknya dia melakukan sesuatu yang benar. Bukankah setiap langkah itu memiliki makna? Enggak semua orang punya keberanian sekuat itu.”
Tatapan Joko menusuk langsung ke arah mereka.
Aku terdiam, terpaku. Tak pernah aku sangka… dia akan membelaku dengan suara sekeras itu.
Mereka membalas dengan tatapan sinis, sembari mengangkat kaki dan beranjak pergi.
"Lah, setidaknya kita main di tempat bagus, engga di kubangan lumpur yang kotor itu, iya enggak girls? hahaha."
Mendengar pernyataan mereka, membuat darahku mendidih. Suaraku gemetar, hampir meluap dengan kalimat balasan—bahwa pernyataan mereka itu tak benar.
Namun, Joko menahanku. Dia memberi tatapan yang seolah berkata kepadaku untuk membiarkan saja mereka. Aku menarik napas panjang. Menunduk. Berusaha menenangkan badai dalam hati.
Kala itu, Joko bertanya kepada ku dengan suara penuh kekhawatirannya—pertanyaan yang membuat hati ku bergejolak.
"Memangnya kamu gamau fokus ke sekolah aja, Mir? Maksudku... Kamu punya cita-cita kan? Belajar, sekolah sampai ke jenjang tinggi?"
Wajah ku langsung murung. Apa yang dia katakan memang benar... Aku bercita-cita menjadi seorang dokter dan menempuh pendidikan tinggi, namun mengingat kondisi ku saat ini... Aku berusaha tetap tegar meski hati ku bergemuruh.
"Aku harap aku bisa, Jok... Tapi keadaan memaksa ku buat melakukan ini. Kalau bukan aku, siapa lagi..? mungkin, aku akan melakukan nya perlahan." balasku, lirih
Dengan senyum tipis, Joko menyemangati ku dengan suaranya yang lembut
"Yahh... Yasudah kalau memang itu mau mu. Aku akan membantu mu dari nol. Kita kan sudah terbiasa susah bareng, dan senang bareng. Aku yakin kamu bisa!"
Mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya, membuat ku sedikit tersipu, wajah ku memerah dan aku reflek membuang muka, guna menyembunyikan perasaanku.
"M-makasih, ya... Kamu udah terlalu banyak bantu aku. Suatu saat nanti, giliran aku yang akan bantu kamu!" balas ku dengan suara penuh percaya diri
Joko hanya membalasnya dengan senyuman, hingga bel sekolah berbunyi—menandakan pelajaran harus tetap berlanjut.
Waktu demi waktu berlalu, hingga kini sore hari di sawah ayah ku. Seperti biasa, aku bersama Joko sedang menanam padi, membantu ayah.
Tiba-tiba, ayah menghampiri kami. Dia datang bersama Pak RT. Wajah mereka tampak murung, hingga akhirnya ayah membuka suara.
"Nak le... Bapak sebenarnya ragu mau bilang ini. Kalian berdua memang sudah banyak membantu. Tapi akhir-akhir ini... seperti nya akan ada potensi gagal panen..."
Aku dan Joko saling pandang, Cemas "Loh, kenapa pak?" tanyaku, pelan.
"Tanah kita mulai kehilangan kesuburannya. Banyak padi yang gagal tumbuh, dan banyak Hama yang makin sering bermunculan. Mungkin karena cuaca yang tak menentu dan pupuk kita yang biasa itu... sudah tak cukup kuat," jelas ayah.
Pak RT menimpali, "Rasanya juga, bukan hanya desa kita yang mengalami hal ini... Saya juga bingung bagaimana mengatasinya, sebagai Rukun Tetangga."
Pada saat itu, aku merasa bahwa saat ini, kita sudah sangat dekat dengan ketakutan itu. Aku menunduk, menatap tanah dengan perasaan campur aduk—antara cemas, sedih dan putus asa.
Begitu juga Joko. Aku rasa dia yang paling mencemaskanku, atas apa yang aku perjuangkan selama ini. Dia menyimpan kekhawatiran yang sama. Mungkin bahkan lebih.
Meski begitu, hari ini tetap kujalani, meski langkah ku berat oleh kekecewaan dan kesedihan.
Malam harinya, aku terbaring di kasur sembari bermain ponsel seadanya. Menggulir media sosial tanpa arah, hingga mataku tertuju pada sebuah artikel.
"Petani Muda Berhasil Tingkatkan Hasil Panen 2x Lipat Berkat NPK Pelangi dari Pupuk Kaltim."
Aku terdiam. Judul itu seakan menyentakku kembali ke kenyataan.
Kubaca artikel itu dengan fokusku. Seorang petani muda dari Jawa Timur dengan lahan yang kondisinya hampir mirip dengan milik kami, berhasil bangkit dari ancaman gagal panen. Ia mengganti pupuk lama dengan NPK Pelangi—produk dari Pupuk Kaltim yang katanya mengandung unsur hara makro dan mikro lengkap, serta lebih cocok dengan kondisi iklim tropis yang tak menentu.
Melihat kabar itu, aku merasa ada harapan dan jalan keluar dari masalah ini. Tanpa pikir panjang, aku menghubungi Joko dan meminta dia untuk bertemu malam ini juga.
Selang beberapa lama, kami bertemu di warung kosong dekat musholla desa. Begitu melihatku, ia kebingungan dan bertanya "Kenapa kamu woi? Abis kesurupan apa? Tadi sore kayanya sedih banget, sekarang lari-lari sambil nyengir,"
"Jok! Kamu tau Pupuk Kaltim, enggak?? Mungkin dia bisa menyelamatkan kita!" seru ku, agak ngos-ngosan.
"Hah? Siapa itu? Anak desa sebelah?" tanya Joko bingung
"Ihh, bukan! Sini aku kasih tau!"
Aku menunjukkan artikel tadi padanya. Ekspresinya langsung berubah, seolah sama seperti reaksiku saat pertama kali melihat nya. "Wahh! Ini bisa jadi harapan baru!" seru nya, matanya berbinar
"Iya kan?! Besok bantu aku ya, yakinin ayah dan Pak RT soal ini!" ujarku, semangatku kembali pulih
Joko menangguk cepat, lalu menjawab "Setuju! Mari kita yakinkan mereka besok!"
Keesokan harinya, aku dan Joko sudah bersiap sejak pagi. Artikel itu kami cetak, lengkap dengan foto-foto perbandingan hasil panen yang ditampilkan. Kami menemui ayah dan Pak RT yang sedang duduk di bale bambu depan rumah.
"Ayah, Pak RT. Anu... Ada waktu sebentar ga? Kita mau bicara sebentar." ujarku, membuka pembicaraan dengan gugup.
"Ada apa, Nak?"
Aku menunjukkan artikel yang kami temukan waktu itu. "Ini tentang Pupuk Kaltim. Ada petani muda dari Jawa Timur yang berhasil menyelamatkan lahannya dengan pupuk ini. Lihat, kondisinya mirip seperti sawah kita…"
Ayah membaca dengan pelan. Pak RT mendekat dan ikut membaca. Hingga akhirnya mereka saling pandang.
"Tapi… apa iya bisa semudah itu?" gumam ayah.
Pak RT menghela napas, "Zaman sekarang banyak iklan tipu-tipu. Bisa saja ini strategi marketing."
Aku mengerti keraguan mereka. Aku pun sempat tak percaya saat pertama kali melihatnya. Tapi entah kenapa… hatiku bilang, ini pantas dicoba.
"Tapi... Kita gak harus pakai semuanya langsung! Coba saja ditanam di satu petak kecil, kalau gagal kita ga akan rugi terlalu banyak juga! Kalau ini berhasil, mungkin kita bisa selamat dari musim ini!" kataku, berusaha meyakinkan.
"Benar tuh, pak! Kalau gagal, saya dan Mira siap bertanggung jawab kok!" ujar Joko, membantuku untuk meyakinkan mereka.
Ayah terdiam lama. Matanya menatap tanah kering di kejauhan, lalu menatap wajahku.
"Baiklah... Ayo kita coba lakukan." katanya, pelan.
Aku tersenyum lebar, dan menoleh ke arah Joko. Dia ikut tersenyum. Tangannya mengepal, seakan berkata bahwa ini adalah awal yang baru.
---
Beberapa minggu kemudian...
Kami menggunakan NPK Pelangi di satu petak kecil di ujung sawah. Awalnya tak banyak yang berubah. Tapi setelah satu minggu, batang-batang padi mulai tampak lebih tegak. Daunnya lebih hijau dari biasanya, dan tak ada tanda-tanda layu seperti sebelumnya.
Dua minggu berlalu. Hama yang biasanya datang menyerang justru menjauh. Padi tumbuh merata dan sehat. Bahkan ayah yang biasanya tak banyak bicara, mulai rajin ke sawah setiap pagi, hanya untuk melihat perkembangan petakan kecil itu.
Sulit dipercaya, tak hanya tunas dan padi yang tumbuh, harapan baru pun mulai tumbuh. Aku, Joko, Pak Rt dan ayah kini berdiri dari kejauhan. Melihat petak kecil yang awalnya hanya sebuah tanah gersang, berhasil disulap menjadi lahan subur.
"Luar biasa..." gumam ayah, suaranya seakan tak percaya dengan apa yg dilihat nya.
Di belakang, aku berdiri dengan Joko. Sembari menyeringai, kita berdua melakukan tos.
"Lihatkan, yah, pak? Tidak ada salahnya mencoba." ucapku, nada puas
"Harus diakui, ini hal yang luar biasa... Kalian benar, perubahan bisa datang dari hal-hal yang tidak kita duga. Aku akan mulai menyarankan Pupuk Kaltim untuk beberapa petani." ujar Pak RT.
Ayah ku datang menghampiri aku dan Joko. Kemudian, dia memeluk kita berdua.
"Nak, aku bangga sama kalian berdua... Tanpa kalian, mungkin kita akan kesulitan menghadapi masa-masa ini... Terimakasih." ucap ayah, dengan nada terharu.
Hatiku menghangat. Untuk pertama kalinya, aku merasa perjuangan ini… benar-benar berarti.
Hingga saat kini...
---
Selang beberapa tahun, aku kembali ke desa, menaiki sebuah mobil.
Aku berdiri di tanah yang sama, tempat di mana aku berpijak dulu. Kini, tanah sudah kembali subur. Banyak petani yang menggunakan Pupuk Kaltim, berkat keberanianku.
Dan usai masa-masa itu berlalu, aku bisa belajar dengan giat dan tekun, hingga aku lulus SMA. Aku mengambil kuliah jurusan Kedokteran, dibantu ayahku.
Aku yang saat ini, hanya bisa tersenyum puas. Tak percaya bahwa dari hal kecil, bisa membawa akibat yang besar. Dari sebuah pupuk, bisa mengubah kehidupan seseorang, dan menaruh harapan baru bagi para Petani.
Dan pesan ku... Sawah bukan sekedar tempat menanam padi, namun dari situlah kita menanam harapan. Jangan takut untuk memulai perubahan, asalkan didasari niat dan ilmu.
Dengan begini, aku pun kembali ke tempat di mana semuanya berasal... Rumahku.
-End
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.