Kearifan Lokal Kampung Naga Memanfaatkan Bambu, Tetap Bertahan di Tengah Gempuran Zaman

Tak hanya indah, Kampung Naga penuh pelajaran berharga [Dokumentasi Pribadi]


Cuaca terik dan peluh menetes menemani perjalanan kami berlima menuju Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Usai menapaki lebih dari 400 anak tangga, tibalah kami di Kampung Naga.

Sepanjang perjalanan, senyum ramah warga lokal tak henti menyambut kami. Keheranan tak lepas dari benak saya, “mereka nggak tekor apa naik turun tangga begini setiap hari”.

 

Kearifan Lokal Kampung Naga, Tak Terpisahkan dengan Bambu

Tugu Kujang menyambut kami di Kampung Naga, Jawa Barat [Dokumentasi Pribadi]


“Selamat datang di Kampung Naga. Di sini, kami tidak menggunakan listrik,” belum lima menit tiba, pernyataan salah seorang tetua desa bernama Pak Otoy yang hari itu menemani mengejutkan kami. Tidak berbeda jauh dengan Desa Kanekes kediaman Suku Baduy, masyarakat Kampung Naga masih mempertahankan tradisi leluhur demi menjaga kelestarian alam.

Ketiadaan listrik menjadi salah satu contohnya. Untuk penerangan, masyarakat setempat memanfaatkan pencahayaan alami dari damar atau obor untuk aktivitas sehari-hari. Kendati tidak ada listrik, sebagian warga masih menggunakan alat elektronik seperti televisi dan radio menggunakan aki.

“Nah ini rumah saya, nanti teman-teman bisa mengisi perut di sini duduk di tikar itu. Di seluruh rumah di kampung ini, nggak ada meja dan kursi.” Desa ini sungguh dipenuhi filosofi. Mengapa tidak ada meja dan kursi ialah wujud penghormatan bagi tamu yang berkunjung. Penghuni rumah duduk sejajar dengan tamu, tidak ada yang lebih tinggi melebihi yang lain.


Apa yang diucapkan Pak Otoy terbukti. Memasuki rumah, areanya sangat lapang. Para perempuan mengerjakan aktivitas rumah tangga di lantai beralas tikar sambil mengobrol. Kesederhanaan sangat kental, sejenak kerinduan saya akan kampung halaman di Leles, Garut terobati. Dekorasi rumah yang minim perabot mengingatkan saya akan hunian mendiang kakek.

Fakta unik lain, hanya terdapat 112 bangunan di Kampung Naga meliputi masjid, balai pertemuan, dan Bumi Ageung yang mana jumlah ini tidak boleh bertambah. Seluruh rumah harus memanjang dari arah timur-barat dan pintu rumah harus menghadap ke arah utara atau selatan.

Adapun, rumah di kampung Naga berjenis rumah panggung dengan ketinggian kira-kira 60 cm dari tanah. Lantainya terbuat dari palupuh (bambu), sedangkan dindingnya dari bilik bambu yang disebut bilik.

 

Anyaman sasag memilili filosofi dalam struktur rumah Kampung Naga [Dokumentasi Pribadi]


Jenis anyaman dinding terdiri dari anyaman kepang, anyaman sasag, dan anyaman kandang jaga. Anyaman sasag rupanya menjadi primadona karena hemat masyarakat lebih awet dan tahan banting dibandingkan anyaman jenis lain. Penggunaan anyaman bukan tanpa tujuan, selain untuk ventilasi udara tetap terjaga juga memudahkan silaturahmi dengan tetangga.

"Kita bisa mengetahui apakah tetangga sebelah atau di depan masak atau tidak. Seumpama beras mereka habis, bisa saling membantu,” lagi, cerita Pak Otoy kembali menohok tulang rusuk. Di kota besar yang mana individualisme sudah mandarah daging, hal seperti ini sudah langka!

Baca Juga: Pohon Bambu dan Peluang Bisnis

Kemudian bagi anyaman di area pintu berguna untuk mengantisipasi kehadiran orang tak dikenal melalui bilik pintu. Penghuni rumah bisa mengamati dari dalam rumah, sebaliknya orang asing tidak bisa mengintip dari luar. Melongok ke bawah, terdapat area kolong sebagai pengatur suhu dan kelembaban, serta kandang ternak seperti ayam, itik, atau wadah penyimpanan kayu bakar.

Mayoritas rumah terbuat dari kerangka kayu yang diperkuat pasak kayu, bambu, dan paku. Tak ketinggalan tiang penahan rumah beralaskan batu yang disebut tatapakan. Untuk melindungi dari cuaca, warga membuat atap rumah berbentuk segitiga.