Kisah Klub Bola Era Galatama, Klub Profesional yang Tidak Bergantung dengan APBD

Sumber: Google

Like

Belum lama ramai akuisisi klub bola oleh selebriti seperti Raffi Ahmad yang mengakuisisi Cilegon United bersama Rudy Salim. Selain itu, anak Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep juga diketahui mengakuisisi klub bola Persis Solo.

Akhir akhir ini, beberapa klub bola yang dikabarkan akan melakukan penawaran umum perdana alias initial public offering (IPO) untuk menambah dana dari himpunan dana publik. 

Di Indonesia, umumnya klub sepak bola mendapat pendapatan dari APBD daerah masing masing, tiket penonton, merchandise dan sponsor. Sekarang, mereka menghimpun dana dari IPO mengikuti jejak klub sepak bola indonesia yang pertama kali melakukan IPO,Bali United pada tahun 2019 silam.

Baca Juga: Jadi Kontroversi, Saham Manchester United (MANU) Bakal Dilepas Avram Glazer

Namun, berbeda kisah dengan jaman dulu, jauh sebelum liga indonesia alias liga pertama di indonesia yakni Sepak Bola Utama yang disingkat Galatama.


Liga Galatama memiliki masa kejayaan tahun 1979 sampai tahun 1994 sebelum akhirnya digabung dengan Perserikatan menjadi Liga Indonesia. Liga Galatama ini adalah pohon sepak bolanya profesional Indonesia.

Adapun, Galatama adalah sebuah liga sepak bola semi profesional pertama di Indonesia dan merupakan Liga terbaik di Asia. 

Klub sepak bola pada era Galatama tidak tergantung APBD. Dilansir dari Bisnis, saat itu sejumlah pengusaha maupun badan usaha swasta getol menggelontorkan dana untuk membiayai galatama.

Selain itu, ada juga dari kalangan BUMN yakni PKT Bontang yang disokong dana oleh PT Pupuk Kalimantan Timur dan Semen Padang, yang mana didukung dan dikendalikan oleh PT Semen Padang.

Dari Indosport, pengelolaan klub di Liga Galatama yang dianggap baik, membuat perwakilan Jepang datang langsung ke Indonesia untuk mempelajari sistem serta cara kerja spesifik dari kompetisi ini.

Jepang melihat bahwa model kompetisi Galatama yang mendapat sokongan dana serta bantuan perusahaan besar merupakan sistem yang baik untuk sepak bola. Akhirnya, model pengelolaan ini terus mereka pertahankan hingga saat ini dengan beberapa variasi peraturan yang ditambahkan.

Hanya dalam satu tahun, produk awal J-League yang sempat mencontoh Galatama langsung lahir, yakni Hidetoshi Nakata, yang bermain untuk Bellmare Hiratsuka dan menjelma sebagai The Asian Player of The Year pada tahun 1997.

Ketika itu, Galatama sudah tak lagi ada lantaran kompetisi dilebur menjadi satu dengan Liga Perserikatan tahun 1994 silam.

Hal ini terjadi karena ambisi para pengusaha, badan usaha swasta dan BUMN dalam mengelola klub secara profesional tak didukung oleh fanatisme suporter dan akhirnya mengalami kebangkrutan dan dilebur dengan Perserikatan. 

Baca Juga: Ramai Klub Bola Kaesang Berencana IPO, Ini Manfaatnya Menurut BEI