Kalau Bukan Anak Muda, Siapa Lagi?

Dokumentasi Pribadi

Like

Masih segar dalam ingatanku, sebuah teori yang pernah saya baca ketika masih duduk di bangku kuliah. Bahwa dunia ini akan diperhadapkan dengan sebuah kondisi, bahan pangan akan bertambah mengikuti deret hitung, sementara pertumbuhan jumlah penduduk mengikuti deret ukur.

Kira-kira begitu teori yang disampaikan oleh Thomas Robert Malthus tahun 1798 dalam sebuah tulisannya yang berjudul: An Essay on the Principle of Population as it Affects the Future Improvement of Society.

Artinya, bahwa kecepatan pertumbahan jumlah penduduk di muka bumi jauh lebih cepat daripada pertambahan bahan pangan. Kalau kondisi tersebut tidak serius ditangani, tentu kita bisa prediksi apa yang akan terjadi. Masalah kemiskinan dan kelaparan akan melingkupi seluruh belahan dunia.

Pemikiran manusia dan kemajuan teknologi pertanian memang terus berkembang, sehingga apa yang dikhawatirkan oleh Thomas Robert Malthus memang tidak terjadi. Ada banyak solusi yang telah dipikirkan manusia untuk memenuhi kebutuhan pangan manusia tersebut, salah satunya dengan revolusi hijau. Revolusi hijau tersebut adalah sebuah upaya melipatgandakan produksi pangan melalui teknologi pertanian, seperti penemuan dan pemanfaatan varietas bibit unggul.

Di Indonesia sendiri, kehadiran varietas bibit unggul tersebut mampu meningkatkan produksi bahan pangan. Terlepas dari berbagai permasalahan yang ditimbulkan, kehadiran varietas bibit unggul tersebut ternyata mampu membuat bangsa Indonesia mengalami swasembada beras. Hal itu telah tercatat dalam sejarah pertanian Indonesia, bahkan karena pencapaian tersebut, Indonesia pernah mendapat penghargaan dari FAO tahun 1985.


Nah, kalau kita bicara tentang kuantitas hasil pertanian zaman sekarang, tentu banyak tantangan untuk mewujudkan swasemba beras kembali seperti saat itu. Bahkan bisa dikatakan bahwa permasalahan pertanian saat ini begitu kompleks.
Misalnya, pertambahan jumlah penduduk yang begitu cepat, tidak diimbangi oleh penambahan lahan pertanian.

Berdasarkan fakta di lapangan, sering sekali kita melihat lahan pertanian telah beralih fungsi, misalnya menjadi pemukiman. Belum lagi kondisi cuaca yang semakin tidak menentu. Hingga, semakin sedikit anak muda yang tertarik dengan pertanian. Itu hanyalah beberapa dari permasalahan pertanian kita.

Nah, tulisan kali ini akan banyak mengupas tentang semakin sedikitnya anak muda yang tertarik dengan pertanian.

Dalam sebuah acara Pengukuhan Duta Petani Milenial (DPM) dan Duta Petani Andalan (DPA) di Jakarta, (13/4/2020), Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP), Dedi Nursyamsi mengatakan “Hanya sekitar 8 persen dari total petani kita 33,4 juta orang. Sisanya lebih dari 90 persen masuk petani kolonial, atau petani yang sudah tua.” Atau berdasarkan catatan BPPSDMP Kementerian Pertanian tersebut bahwa petani muda di Indonesia yang berusia 20-39 tahun hanya berjumlah 2,7 juta orang. (bisnis.tempo.co)

Melihat angka tersebut, tentu mengkhawatirkan sekali dengan masa depan pangan negeri kita. Ketika lonjakan penduduk terus meningkat, sejatinya harus diikuti dengan meningkatnya jumlah bahan pangan. Sementara peningkatan jumlah pangan, tentu tidak terlepas dengan sumber daya manusia yang bekerja di bidang pertanian.

Kalau hal itu tidak segera ditangani, bukan tidak mungkin kita akan berhadapan dengan krisis pangan dalam waktu dekat, seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak saat ini. Atau jangan-jangan kita akan menjadi pengimpor bahan pangan terus menerus ke depannya.

Kondisi demikian tentu tidak akan membuat bangsa kita menjadi bangsa yang berdaulat pangan.

Menurut hemat saya ada beberapa hal yang harus segera dilakukan untuk membangkitkan kembali minat anak muda menjadi petani.

Pertama. Memperkenalkan sosok inspiratif yang sukses dalam pertanian kepada kaum muda. Sehingga sosok tersebut menjadi motivasi kepada anak muda, ternyata menjadi petani itu adalah pekerjaan yang menjanjikan juga. Tidak kalah dengan bidang lainnya, kalau digeluti dengan sungguh-sungguh.

Kedua. Mulai membangun citra bahwa petani itu tidak identik dengan kumuh, kotor dan lusuh. Jargon “petani berdasi” dan profesional harus bisa menjadi citra petani masa depan.

Ketiga. Memberikan perhatian khusus serta dukungan bagi anak muda yang mau bertani, baik dari segi kepemilikan lahan, modal, infrastruktur pertanian, dan teknologi pendukung pertanian modern.

Keempat. Memperbanyak penyuluhan dan pelatihan kepada anak muda, tentu dengan penyuluhan dan pelatihan kekinian yang memanfaatkan kemajuan teknologi digital. Hal ini diharapkan dapat menarik minat anak muda yang umumnya sudah hidup di era digital seperti sekarang.

Kelima. Menggandeng kampus-kampus yang berbasis pertanian, atau fakultas pertanian untuk bersinergi mendorong anak muda, khususnya mahasiswa pertanian berkomitmen untuk bekerja di bidang pertanian. Sehingga ilmu yang sudah didapat dari kampus tentu akan jauh lebih bermanfaat ketimbang bekerja di bidang lainnya.

Itulah beberapa hal yang barangkali menjadi perhatian kita bersama untuk mendukung anak muda tertarik dan menggeluti profesi sebagai petani. Ini hanyalah sekedar gagasan dari penulis, barangkali sahabat pembaca memiliki gagasan lainnya, silahkan ditambah demi melengkapi gagasan tersebut.

Berharap masa depan pangan bangsa kita akan jauh lebih baik dari sekarang, sehingga kedaulatan pangan tersebut dapat terwujud. Intinya pelibatan anak muda sebagai generasi penerus petani perlu menjadi perhatian kita bersama. Sebab kalau bukan anak muda, siapa lagi yang akan melanjutkan tongkat estafet pertanian kita?