Harga Minyak Mentah Merosot Akibat Profit Taking Illustration Web Bisnis Muda - Canva
Likes
Keuntungan selama lima sesi yang diambil oleh investor berimbas pada anjloknya harga minyak mentah pada perdagangan hari Selasa (28/09).
Berdasarkan data dari Antara, untuk pengiriman bulan November, minyak mentah berjangka Brent mengalami pelemahan sebesar 0,6 persen atau 44 sen ke angka $79,09 per barel atau sekitar Rp 1,13 juta. Harga minyak mentah sempat menduduki angka tertinggi di $80,75 per barel pada Oktober 3018.
Selain itu, setelah mencapai $76,67 per barel sejak Juli lalu, minyak mentah berjangka WTI (West Texas Intermediate) Amerika Serikat meluncur turun 0,2 persen atau 16 sen ke angka $75,29 per barel.
Penguatan nilai dolar Amerika Serikat menjadi salah satu faktor merosotnya harga minyak mentah. Pada akhir perdagangan hari Selasa (28/09) dan mengukur greenback terhadap enam mata uang utama, indeks dolar meningkat 0,41 persen.
Permintaan bahan bakar yang meningkat dan pasokan yang diperketat oleh negara penghasil minyak hingga pertemuan OPEC pekan depan, membuat harga acuan minyak melonjak.
Andrew Lipow, Presiden Konsultan Lipow Oil Associates, menyebutkan bahwa ada banyak profit taking yang disebabkan kenaikan harga minyak mentah yang cukup drastis. Pasar juga tengah mengevaluasi dinamika permintaan dan penawaran yang sedang terjadi.
Saat ini, pasar juga sedang menghadapi krisis pembatasan listrik di China. Negara tersebut merupakan konsumen energi listrik terbesar di dunia yang juga merupakan importir minyak utama dunia. Hal yang ditujukan untuk mengurangi emisi ini justru akan membebani kegiatan ekonomi.
Selain itu, menurut analis pasar minyak senior di Rystad Energy, Louise Dickson, kondisi krisis tersebut juga akan berimbas pada menurunnya permintaan minyak.
Di sisi lain, OPEC memperkirakan ketika ekonomi pulih dari pandemi di tahun depan, maka permintaan minyak akan turut tumbuh tajam. Investasi dalam produksi tetap diperlukan untuk mencegah krisis, walaupun kini penggunaan energi mulai beralih ke EBT (energi baru terbarukan).
Pemangkasan produksi selama pandemi dilakukan oleh beberapa anggota kelompok produsen OPEC+ sehingga mereka mengalami kesulitan dalam memenuhi permintaan yang meningkat.
Kurangnya investasi dan pemeliharaan menjadi masalah dalam peningkatan kuota produksi yang dialami oleh Afrika, Nigeria, dan Angola sebagai pengekspor minyak utama.
Selain itu, produksi di Amerika Serikat terhambat oleh adanya bencana alam, seperti Badai Ida dan Nicholas di Teluk Meksiko pada bulan Agustus dan September. Peristiwa tersebut membuat beberapa kerusakan pada fasilitas produksi, seperti anjungan, jaringan pipa, dan juga pusat pemrosesan.
Data yang akan dirilis oleh Badan Informasi Energi Amerika Serikat akan digunakan untuk menganalisis perkiraan persedian minyak mentah di AS yang dilakukan oleh S&P Global Platts.
Baca Juga: China Jual Pasokan Minyaknya, Dampak Inflasi?
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.