Layoff Anxiety is Real, Bagaimana Cara Menghadapinya?

Layoff Anxiety is Real, Bagaimana Cara Menghadapinya (Canva)

Like

Meski pandemi sudah berakhir, tidak sedikit perusahaan yang masih melakukan efisiensi. Apalagi perusahaan rintisan atau startup. Ini membuat banyak orang terserang layoff anxiety. Simak tips menghadapi layoff anxiety ini!

Ekonomi global, meski berangsur-angsur membaik, masih dalam keadaan yang tidak stabil dan tidak dalam performa terbaiknya. Tentu ini mempengaruhi berbagai aspek. 

Salah satunya adalah industri yang akan berefek ke para pekerja di dalamnya. Meski pandemi mereda, bukan berarti keuangan perusahaan-perusahaan aman.

Apalagi perusahaan yang berkaitan langsung dengan keadaan perekonomian global, dan perusahaan rintisan. Salah satu hal yang dilakukan perusahaan untuk mengatasi hal ini adalah dengan melakukan efisiensi keuangan.

Biaya operasional adalah salah satu budget yang bisa dipangkas dengan cara melakukan PHK. Tidak heran jika saat ini masih banyak perusahaan yang melakukan PHK atau lebih populer disebut layoff.


Layoff yang datangnya tidak pasti bisa tiba-tiba membuat para pekerja was-was. Mereka merasa bisa saja selanjutnya mereka akan dilayoff.

Baca Juga: Layoff Google Berimbas ke Karyawan yang Lagi Cuti Melahirkan

Perasaan ini mempengaruhi kinerja serta mental para pekerja. Apa yang mereka alami ini dinamakan layoff anxiety.

Bahkan 78 persen pekerja AS khawatir kehilangan pekerjaan mereka, menurut perusahaan kepegawaian, Insight Global.

Ketidakamanan kerja dapat berdampak negatif pada fokus dan motivasi. Ini juga menyebabkan ketidakseimbangan kesehatan mental, seperti kecemasan atau depresi.

Layoff anxiety harus segera diatasi agar tidak semakin mengambil alih kepercayaan diri dalam bekerja. Tapi, bagaimana caranya?


Tips Menghadapi Layoff Anxiety


Jangan sampai khawatir akan diberhentikan berlebihan karena bisa merugikan dan berdampak pada kinerja yang buruk. Forbes punya tips untuk layoff anxiety. 


1. Bedakan Fakta dan Fiksi


Amati self-talk atau pikiran-pikiran sendiri. Seringkali saat orang mulai memperhatikan pikirannya, dia menyadari bahwa dia sering melompat ke kesimpulan dan membuat keputusan tanpa memiliki semua fakta.

Misalnya saat atasan lambat membalas pesan, akhirnya muncul asumsi tentang posisinya saat ini. Karena takut dilayoff akhirnya salah menafsirkan perilaku atasan tadi dengan tanda-tanda akan dilayoff. 

Harus mencari fakta apa yang sedang terjadi dalam perusahaan, apakah melakukan pembekuan perekrutan, keuangan sedang dalam masalah, atau sedang baik-baik saja.


2. Evaluasi Peran dalam Perusahaan


Selama bekerja di suatu perusahaan, pasti ada peran yang dijalankan. Jika merasa diujung layoff maka perlu mengevaluasi peran masing-masing dalam perusahaan. 

Bagaimana nilai proyek yang telah dijalankan, apakah peran dalam proyek menghasilkan pendapatan, berapa nilai pekerjaan-pekerjaan yang dijalankan, dan dampak-dampak lain yang telah dihasilkan untuk perusahaan.

Baca Juga: Lebih dari 25 Ribu Pekerja Tech Kena Layoff di Awal 2023

Setelah mengevaluasi saatnya menjalin koneksi kembali dengan bos-bos di kantor lama, bergabung dengan kelompok industri atau asosiasi perdagangan.

Dedikasikan waktu untuk memperbaiki resume, portofolio, dan profil LinkedIn. Bahkan jika tidak jadi layoff, akan merasa lebih aman mengetahui dapat melakukan pivot sesuai kebutuhan.


3. Pesimisme Defensif


Pesimisme defensif adalah suatu mekanisme pertahanan dalam keadaan tertentu ketika seseorang memang benar-benar sulit menumbuhkan sikap optimis.

Perilaku pesimisme defensif bisa dilakukan dengan mulai bertanya pada diri sendiri apa yang akan dilakukan jika dilayoff, hambatan apa yang akan dihadapi dan bagaimana menanganinya, dan tulis rencana secara mendetail.

Penelitian menunjukkan bahwa dengan mempersiapkan respons terhadap skenario terburuk, kita sebenarnya dapat memperoleh rasa kendali, sebuah strategi yang dikenal sebagai pesimisme defensif. 

Rencana darurat membantu tetap merasa aman di tengah situasi yang tidak pasti.


4. Investasikan Diri


Pekerjaan adalah bagian dari dir, tapi bukan seluruh identitas. Para peneliti menemukan bahwa orang-orang yang mereduksi diri mereka menjadi satu atribut, hanya pekerjaan mereka, sering kali merasa tidak manusiawi. Ini menciptakan tingkat depresi, dan kelelahan yang lebih tinggi.

Itu mengapa penting untuk mendiversifikasi diri. Kita dapat menumbuhkan kompleksitas diri dengan berinvestasi di berbagai bidang kehidupan, seperti hobi, keluarga, atau pendidikan. 

Dengan cara ini, ketika hal-hal di tempat kerja tidak stabil, kita tidak kehilangan seluruh diri.

Mau tulisanmu dimuat juga di Bisnis Muda? Kamu juga bisa tulis pengalamanmu terkait investasi, wirausaha, keuangan, hingga lifestyle di Bisnis Muda dengan klik “Mulai Menulis”.
 
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
 
Gabung juga yuk di komunitas Telegram kami! Klik di sini untuk bergabung.