Gaya ala Sabuya: Akulturasi Budaya Lebih Ramah Lingkungan?

Sentani Dress (Instagram: Sabuya Room)

Sentani Dress (Instagram: Sabuya Room)


Be-emers, tahu enggak kalau industri fast fashion merupakan produksi yang paling merusak lingkungan?

Model bisnis fast fashion ini bersifat linear yang berarti produk yang telah dikonsumsi penggunanya biasanya dibuang tanpa didaur ulang.

Berdasarkan riset yang dipublikasikan dalam jurnal berjudul The Role of Supply Chain Management in Fast Fashion Merchandising, industri fast fashion terbilang sukses karena didukung oleh teknologi dalam merespon tren konsumen yang sangat cepat.

Hal ini kerap kali mengesampingkan dampak negatif seperti lingkungan dan etika.

Nah, menjawab efek negatif dari fast fashion, maka muncullah konsep slow fashion. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Kate Fletcher dalam publikasinya di The Ecologist pada tahun 2007.


Menurutnya, fast fashion bukan hanya sekedar kecepatan tapi ketamakan: menjual lebih banyak, dan menghasilkan uang melimpah.

Logika pendek inilah yang membuat harga produk bisa jadi lebih murah, namun sebagai gantinya ada kemungkinan eksploitasi pekerja dan sumber daya alam.

Sebagai kontranya, slow fashion tidak ukur dari kecepatan tetapi kualitas. Hal ini berarti pemasok bisa merencanakan pesanan, jumlah pekerja yang dibutuhkan dan investasi jangka panjang yang menguntungkan semua pihak.

Dengan demikian, kualitas memang berarti biaya yang lebih tinggi. Kamu bisa membeli lebih sedikit produk fashion, tapi nilainya lebih tinggi karena suplainya yang memang terbatas.


Akulturasi Budaya dalam Fashion, Bisa Enggak sih?

Salah satu implementasi praktik slow fashion adalah produk fashion akulturasi budaya. Kita ambil contoh yakni produk yang ditawarkan oleh Sabuya.

Dengan slogan: modern design meet traditional handwoven, Sabuya bukan hanya produk pakaian konvensional tetapi medium pelestarian budaya yang pastinya tidak diproduksi secara massal layaknya fast fashion.

Alih-alih memproduksi pakaian adat, Sabuya mengubah kain tradisional menjadi produk fashion multiguna yang bisa digunakan dalam setiap kesempatan.

Sebagai contoh, Sentani adalah adalah kain dengan motif khas yang berasal dari suku Sentani di Papua, Indonesia. Detail desainnya menggambarkan cerita budaya dan kekuatan spiritual dalam masyarakat lokal.