Ada yang Aneh dengan Motivasi Kita

Motivasi kerja (sumber: pixabay)

Like

Dalam setiap usaha atau kerja kita, selalu saja ada motivasi yang mendasarinya. Motivasi itu kita kenal ada dua faktor, yaitu: eksternal dan internal.

Kalau eksternal itu dari luar diri, misalnya: orang lain, keadaan negara, situasi ekonomi, politik, dan lain sebagainya, sedangkan internal, tentu sebaliknya, dari diri sendiri.

Pola Rutinitas

 

Rutinitas (sumber gambar: pixabay)


Seorang internet marketer pernah membuat postingan di hari Senin. Dia menyinggung orang-orang yang menggebu-gebu untuk bekerja di hari Senin. Hari tersebut adalah awal dari pekan, awal dari kerja, dan awal dari rutinitas yang berlangsung begitu dan begitu seterusnya.

Sementara sang internet marketer tersebut justru malah jalan-jalan dan bersantai di hari Senin. Wajar dong, soalnya dia sudah punya tim. Sudah punya karyawan yang mendukung bisnisnya.

Sementara itu, ketika libur akhir pekan, Sabtu dan Ahad, para pekerja baru bisa bersantai. Mungkin berlibur bersama keluarga, mungkin tidur sepanjang hari, membalas dendam karena kerja yang padat dari Senin sampai Jum'at. 

Istilah I hate Monday, pernah muncul dan pastinya kita tahu. Mungkin sekarang istilah itu selalu muncul dalam kehidupan kita. "Hah, sudah hari Senin lagi? Kerja lagi? Masuk kantor lagi? Aduh!"


Akhirnya yang ada adalah mengeluh dan mengusap peluh. Apalagi di kota besar seperti di Jabodetabek yang selalu bergelut dengan kemacetan. Ya, kemacetan di jalan raya, kemacetan pula menghadapi arus lalu lalang manusia yang begitu bejibun saat naik KRL misalnya. 

Baca Juga: Cara Jawab Motivasi Kerja saat Interview dengan HRD

Pikiran stres tentu saja wajar. Terlebih bagi mereka yang mulai kerja dari ketika anak tidur dan pulang saat anak sudah tidur kembali. Terus, ketemunya kapan dong? Katanya bekerja demi anak? Namun, yang ada malah jarang sekali ketemu anak.

Dari fenomena tersebut, kira-kira motivasinya berjenis apa? Saya rasa, sebagian besar kita, motivasinya masih eksternal alias dari orang lain. 
 

Konten Demotivasi


Ada seorang kreator konten di TikTok yang selalu membuat video tentang demotivasi. Kalau yang kita kenal selama ini motivasi lewat buku maupun seminar, tetapi di konten-konten tersebut justru sebaliknya.

Menyinggung kerja kita sampai dengan sekarang yang memang lebih banyak ditujukan kepada orang lain.  Lebih khusus lagi orang lain tersebut adalah atasan kita. Dia yang mempunyai penghasilan lebih besar daripada kita ternyata justru punya pekerjaan yang lebih santai.

Apalagi jika dari atasan atasannya kita, cuma meneruskan perintah kerja lewat Whatsapp dan mengalir ke kita. Melihat ada Whatsapp dari bos, kita langsung seketika melaksanakannya. Walaupun malam hari, meskipun tengah malam sekalipun, kalau bos yang suruh, maka kita harus menyingkirkan yang lain dulu. 
 

Suasana kerja di kantor (sumber gambar: pixabay)


Mungkin kita sedang berkumpul dengan keluarga, bercengkrama dengan anak dan istri, tetapi bos tiba-tiba menelepon, menyuruh kita ke kantor segera, maka di saat itulah, mungkin kita harus berganti pakaian terlebih dahulu, lalu meluncur ke kantor.

Sedang tidur atau beristirahat, telepon tiba-tiba berbunyi. Dilihat siapa yang menelepon tengah malam, ternyata bos, langsung baterai diri kita cepat terisi 100 persen, siap menerima perintah. 

Kondisi semacam itu pasti banyak yang mengalami lho! Jika kita menolak perintah bos, maka resikonya bisa berat. Kita bisa kena sanksi. Kita pun bisa dimutasi, dipindahkan ke tempat yang jauh, tempat antah-berantah di sana, yang mungkin tidak ada di peta, hehe.

Atau yang paling tragis, kita bisa dipecat! Sementara mencari pekerjaan di masa sekarang bagaikan mencari jarum di lautan jerami, maka mempertahankan pekerjaan yang ada itu lebih baik, meskipun hati dongkol sebenarnya. 

Ketika pekerjaan sudah selesai pun, belum tentu ada apresiasi dari bos. Kalau sekadar ucapan terima kasih sih masih mending ya, tetapi bagaimana kalau tanpa ucapan apapun?

Ucapan yang muncul justru ketika pekerjaan kita salah. Kita kena marah, bisa ditambahi dengan menggebrak meja. Tentu saja hal itu membuat kita kaget, lalu berusaha lagi memperbaiki pekerjaan tersebut. 

Nah, sampai sebegitunya bukan kita berjuang demi pekerjaan? Begitu takutnya kita dengan atasan, bos, maupun pimpinan. Kita jadi panik ketika menerima pekerjaan, padahal belum selesai pekerjaan lain, eh, malah ditambah lagi.

Hal itu bisa terjadi ketika kita sulit untuk mengatakan "tidak". Berat dan tabu rasanya mengatakan "tidak", nanti dianggap tidak loyal terhadap atasan.
 

Motivasi Esternal vs Internal

 

Malas untuk diri sendiri (sumber gambar: pixabay)


Motivasi eksternal kita sangatlah kuat. Kita bisa mempunyai energi lebih, meskipun sudah capek, tetapi ketika bos menyuruh kerja lagi, kita menggeser istirahat. Alhasil, dari 24 jam yang ada, terasa 27 jam untuk pekerjaan semua.

Hal yang lebih miris lagi, untuk sekadar solat saja, hampir tidak ada waktu karena sibuk melayani bos, sibuk bekerja di kantor. Padahal, seberapa besar sih gaji kita, kok sampai lupa solat?

Hal yang aneh, seperti yang saya sebutkan di judul tulisan ini, adalah motivasi internal kita. Kalau kita bisa begitu bersemangat 45 dengan pekerjaan, dengan suruhan dari bos, tetapi ketika untuk diri sendiri, kok kita malah malas? Kok kita malah tidak termotivasi?

Baca Juga: Memang Ngeluh bisa menyelesaikan Masalah?

Saat sampai di rumah, istirahat, waktunya jadi berkepanjangan. Rebahan justru diisi dengan scroll-scroll media sosial yang tidak jelas. Padahal, yang dilihat atau ditonton sama sekali tidak bermanfaat.

Lihat joget-joget tidak jelas, mengikuti live yang tidak bermutu, menonton sinetron yang ceritanya ngalor-ngidul, alhasil, waktu kita jadi semakin habis. Sudah habis dengan urusan pekerjaan, kini tambah habis dengan aktivitas yang tidak ada juntrungannya. 

Seandainya kita punya motivasi internal yang kuatnya sama dengan motivasi eksternal, maka kita bisa lebih mengembangkan diri. Misalnya, kita punya keinginan untuk berolahraga di jam setengah lima sore.

Pas sudah jam tersebut, justru rasa malas yang muncul. Justru kita ingin rebahan lagi. Kita kembali dipeluk oleh kehangatan kasur, bantal, dan guling. Dan, ucapan kita selanjutnya adalah, "Besok saja deh!" Atau, "Lain saja, lah!"

Urusan lain, misalnya kita punya niat untuk membaca buku pengembangan diri. Ada buku motivasi yang sudah kita beli beberapa bulan yang lalu. Sudah punya niat itu, ternyata hangus juga.

Kita lebih memilih kembali scroll di media sosial dan menonton aksi para content creator lagi. Mereka sudah mendapatkan cuan dari konten-kontennya, kita yang malah belum sama sekali. Sudah paket data habis, uang pun kita tidak dapatkan. 

Ini adalah hal yang aneh dan bisa terjadi pada banyak orang. Untuk diri sendiri, mereka tidak termotivasi. Mengungkapkan begitu banyak alasan, begitu banyak dalih, yang membuat keinginan tersebut tidak jadi dilakukan.

Padahal, itu semua demi kebaikan kita sendiri, lho! Olahraga baik untuk kita, membaca buku baik juga, atau belajar lewat kursus online, hohoho, itu investasi yang luar biasa. 

Ketika ada uang, kita memilih menghabiskannya sembarangan. Padahal, investasi yang terbaik adalah investasi leher ke atas. Maksudnya di situ bukan skincare, bedak, kosmetik, dan semacamnya lho ya! Namun, lebih ke pengembangan otak atau pikiran.

Belajar keterampilan baru, belajar kemampuan yang nantinya akan kita butuhkan, belajar dari para pembelajar, dan belajar apapun selama itu positif dan bermanfaat. 

Jadi, antara motivasi eksternal dan internal begitu njeglek, begitu beda perlakuannya. Kita tergopoh-gopoh saat bos sudah menyuruh, tetapi ketika diri sendiri menyuruh, kita malah tidak mempedulikannya.

Kita rela menghabiskan waktu lebih banyak untuk orang lain, tetapi justru sangat sedikit untuk diri kita sendiri. Ayolah, kita coba ubah pola ini! Kerja memang ada waktunya, ada porsinya sendiri, tetapi untuk diri sendiri, perlu juga diporsikan. 

Sekarang, ada begitu banyak sumber ilmu, sumber informasi, yang bermanfaat. Kita bisa mengikuti kursus online bertema bisnis seperti yang saya lakukan. Saya membeli kursus tersebut dan belajar dari sana. Bahkan, kursusnya pun bisa dijual lagi.

Saya juga membaca buku pengembangan diri yang saya beli di toko buku di mall. Ada sih pikiran, kok terasa mahal ya membeli buku? Namun, ilmu di dalamnya, pastilah jauh lebih mahal.

Baru juga saya membeli dua buku bisnis dari motivator terheboh di negeri ini. Bukunya belum datang, tetapi ketika datang nanti, siapkan pikiran untuk menyerap semuanya. 

Nah, sampai di sini, kapan kita akan mulai? Kapan kita akan mulai lebih memperhatikan motivasi internal kita? Janganlah pekerjaan dari atasan sangat masuk dan membuat kita jadi merasa tidak punya hidup sendiri.

Apalagi sampai membuat kita jadi lupa beribadah, lupa sholat. Kalau sampai hal itu terus terjadi, rasa-rasanya motivasi eksternal jadi sangat menguasai hidup kita. Atau dengan kata lain, justru orang lain yang mempunyai hidup kita tersebut. Miris. 

Punya opini atau tulisan untuk dibagikan juga? Segera tulis opini dan pengalaman terkait investasi, wirausaha, keuangan, lifestyle, atau apapun yang mau kamu bagikan. Submit tulisan dengan klik "Mulai Menulis".
 
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
 
Gabung juga yuk di komunitas Telegram kami! Klik di sini untuk bergabung.