Joko Anwar Bilang 70% Film Indonesia Merugi, Ternyata Begini Faktanya

Like

Joko Anwar bilang 70% film Indonesia rugi setiap tahunnya. Salah satu yang bikin rugi adalah jaringan penjualan film yang terbatas dan bersaing dengan para pembajak ilegal. 

Dalam thread di Twitternya pada 24 Mei 2020, dia bilang cara sebuah film bisa baik modal adalah mendistribusikannya ke bioskop, homes video [DVD & Blu-ray], dan Video on Demand (VOD) seperti Netflix, Iflix, Viu, dan kawan-kawannya. Masalahnya, di Indonesia hanya berlaku dua jalur distribusi, yakni bioskop dan platform VOD. Penyebabnya, jalur homes video sudah mati ditebas para pembajak. 

"Memang ada asumsi homes video mati karena adanya platform VOD. Namun, faktanya di Amerika dan Eropa bisnis DVD dan Blu-ray masih tetap jalan," tulisnya dalam thread tersebut. 

BACA INI JUGA YUK: Airy Tutup, Mengenang Startup yang Ubah Properti Tua Jadi Penginapan Kece

Artinya, industri homes video di Indonesia mati enggak cuma gara-gara VOD, tetapi ada peran para pembajak DVD maupun streaming ilegal. 


Lalu, bagaimana fakta sesungguhnya terkait industri film di Indonesia? semua itu bisa terjawab setelah melihat  laporan keuangan 2019 emiten sektor perfilman, yakni PT MD Pictures Tbk.

Emiten berkode FILM itu mencatatkan penurunan penjualan pada 2019 sebesar 14,86% menjadi Rp250,24 miliar dibandingkan dengan Rp293,92 miliar pada 2018. Dari segi laba bersih, FILM mencatatkan penurunan pada 2019 sebesar  44,1% menjadi Rp60,95 miliar dibandingkan dengan Rp109,28 miliar pada 2018. 

Nah, rincian penjualan FILM akan menjawab fakta yang disebutkan oleh Joko Anwar dalam threadnya tersebut. FILM memiliki dua jenis pendapatan, yakni dari penjualan film dan sewa bangunan, peralatan shooting, dan sound mixing. Secara mayoritas, penjualan film perseroan masih mendominasi ketimbang penjualan sewa bangunan, alat shooting, dan sound mixing tersebut. 
 



Sayangnya, penjualan film perseroan menjadi penyebab turunnya penjualan 2019 secara keseluruhan setelah turun 21,73% menjadi Rp213,13 miliar dibandingkan dengan Rp272,3 miliar pada 2018. Padahal, pendapatan sewa bangunan tumbuh 63,52% menjadi Rp35,02 miliar, pendapatan sewa alat shooting melejit 779,27% menjadi Rp1,78 miliar, dan pendapatan dari sound mixing baru pertama kali masuk dalam laporan keuangan 2019 senilai Rp309,75 juta. 

Penyebab penurunan penjualan film perseroan adalah turunnya pendapatan dari bioskop, stasiun televisi, dan homes video seperti, DVD dan VCD. 

Penjualan film melalui bioskop pada 2019 turun sebesar 30,88% menjadi Rp138,5 miliar dibandingkan dengan Rp200,4 miliar pada 2018. Penjualan film melalui stasiun televisi turun lebih dalam sebesar 65,61% menjadi Rp2,29 miliar dibandingkan dengan RP6,67 miliar  pada tahun sebelumnya. 

Lebih miris penjualan film melalui DVD dan VCD menjadi tidak ada. Padahal pada 2018 masih mencatatkan penjualan Rp180 juta. Fakta itu senada dengan yang disebutkan oleh Joko Anwar kalau industri homes video di Indonesia sudah mati.

Di sisi lain, penjualan film melalui jaringan digital seperti, VOD, belum berkontribusi melebihi bioskop. FILM mencatatkan kontribusi penjualan film via digital pada 2019 tumbuh 12,57% menjadi Rp69,88 miliar dibandingkan dengan Rp62,07 miliar pada 2018.

Namun, perseroan mencatatkan 16,44% penjualan film via digital berasal dari Hooq, platform VOD yang memutuskan tutup per 30 April 2020. Artinya, FILM bisa  kehilangan sekitar Rp11,48 miliar pendapatan dari Hooq.

Jaringan distribusi penjualan film yang terbatas makin diperburuk dengan beban pokok penjualan yang terus meningkat. Pada 2019, beban pokok penjualan film mencatatkan kenaikan sebesar 47,08% menjadi Rp94,12 miliar. 

Itu baru gambaran dari satu perusahaan bidang perfilman yang bisa dibilang cukup besar. Bagaimana ya dengan nasib perusahaan film lainnya?

Dalam threadnya, Joko Anwar pun menyebutkan tantangan industri film Indonesia adalah pasar yang terbatas. "Jika film di Amerika bisa didistribusikan ke seluruh dunia, sedangkan kami di Indonesia hanya didistribusikan di Indonesia saja," ujarnya.