Akibat Biaya Kuliah Selangit, Kuliah jadi Kebutuhan Tidak Wajib?

Biaya kuliah yang semakin mahal memicu protes dari kalangan mahasiswa (Sumber gambar: iStockphoto/Monthira Yodtiwong)

Like

Belakangan ini, ramai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dari sejumlah universitas negeri di Indonesia. Aksi ini dipicu karena biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang semakin melambung pesat. 

Kenaikannya bahkan bisa mencapai 20-40?ri sebelumnya. Hal ini pun yang membuat banyak mahasiswa mengeluhkan mahalnya biaya kuliah. 

Apalagi melihat penentuan UKT di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) ini mematok pada gaji orang tua. Alhasil, mereka jadi resah karena UKT yang harus dibayar tidak sesuai dengan data mahasiswa dan gaji orang tuanya. 

Penentuan biaya UKT ini jelas sangat tidak wajar dan amburadul. Mahasiswa yang kurang mampu malah mendapat tanggungan UKT lebih besar, begitupun sebaliknya. 

 

Otonomi Pemerintah dan Jeratan UKT yang Mahal

UKT yang mahal sebenarnya terjadi karena pemerintah yang tidak mendanai kampus secara keseluruhan. Pemerintah hanya memberikan BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) yang dipergunakan untuk menutup sedikit kekurangan biaya dari kampus. 

Sisanya, kampus harus mencari sendiri pemasukan dana dengan memanfaatkan biaya UKT mahasiswa.


Diperparah lagi dengan adanya kebijakan PTN-BH. Kebijakan yang mengizinkan perguruan tinggi untuk mengatur sendiri urusan “rumah tangga” di dalamnya, seperti besaran UKT.

Baca Juga: Kuliah di Indonesia Mahal, Kuliah di luar Negeri Bisa Jadi Pilihan?

Kampus pun jadi punya hak untuk menentukan biaya kuliah mahasiswa lewat penggolongan-penggolongan UKT.

Sebagai contoh dari kampus saya sendiri yang terletak di Jawa Barat, saat ini penggolongan UKT-nya ada 7 untuk program D4, sedangkan program Sarjana terdapat 8 golongan UKT.

Tiap penggolongan tersebut tentu berbeda-beda harganya. Golongan I dipatok dengan harga sebesar 500 ribu, sementara golongan tertinggi biayanya menyentuh angka 15-25 juta tiap semesternya tergantung dari program studi.

Untuk saya sendiri, biaya kuliahnya sebesar 6 juta per semester. Namun kala saya diterima, belum ada sistem penggolongan UKT di fakultas. 

Alasannya karena saat itu jenjang saya terdaftar sebagai mahasiswa program Diploma III. Alhasil, kampus tersebut masih menerapkan biaya UKT sama rata bagi seluruh mahasiswa di fakultas saya.

Masuk tahun 2022, fakultas memutuskan untuk merubah alih jenjang menjadi Diploma IV (D4). Akibatnya, biaya kuliah jadi berubah dan sistem penggolongan UKT diberlakukan karena jenjangnya sudah setara dengan S1.

Meskipun begitu, jika dikalkulasikan total biaya kuliah saya hingga selesai masa studi ini memakan puluhan juta.

Belum lagi dengan biaya tempat tinggal untuk menetap sementara di sana dan kebutuhan kuliah lainnya. Saya akui biaya untuk kuliah memang mahal.

Terlebih bagi mereka yang terdaftar lewat jalur seleksi mandiri. Jalur yang notabenenya harus mengeluarkan extra money

Hal ini dipicu karena UKT-nya lebih mahal daripada jalur reguler. Ditambah dengan adanya Biaya Pengembangan Institusi dan Fasilitas (BPIF) atau dikenal sebagai uang pangkal yang berkisar 50-225 juta.

Mahalnya UKT ini tak menutup kemungkinan banyak mahasiswa di kampus saya yang mengajukan banding.

Namun, kampus seolah tutup mata dan tak jarang dari mereka yang ditolak bandingnya. Hal ini yang membuat beberapa mahasiswa ada yang memutuskan untuk tidak melanjutkan.

Solusi lainnya untuk membantu biaya kuliah sebenarnya dengan memanfaatkan KIP Kuliah. Program bantuan ini bisa meringankan biaya kuliah bagi mereka yang memiliki keterbatasan ekonomi.

Namun lagi-lagi sama seperti kasus yang ditemukan akhir-akhir ini di kampus lain, banyak pengguna KIPK di kampus saya yang justru salah sasaran.

Mereka yang notabenenya punya ekonomi layak malah mendapatkan KIPK, tetapi bagi yang membutuhkan tidak ada bantuan sama sekali yang diterima. 

Baca Juga: Mahasiswa Miskin Dilarang Kuliah, Perguruan Tinggi Hanya Kebutuhan Tersier

Mengenai UKT yang mahal, menurut saya juga harus sepadan dengan sarana dan prasarana kampusnya. Sebab, saya menemukan beberapa fasilitas kampus yang bisa dikatakan kurang lengkap dan mendukung untuk pembelajaran mahasiswa. 

Oleh karena itu, pembangunan sarana dan prasarana fasilitas perlu ditingkatkan kembali dan dilakukan pembaharuan sesuai dengan teknologi supaya mahasiswa merasa puas dan adil dengan biaya kuliah yang harus dibayar.