Bagaimana Upaya Supaya Kelas Menengah Tidak Turun Kasta?

Masyarakat kelas menengah lebih banyak mengeluarkan pendapatnya untuk kebutuhan tersier. (Latar Depan Alun-alun Kota Bogor. Sumber: Wikimedia Commons)

Masyarakat kelas menengah lebih banyak mengeluarkan pendapatnya untuk kebutuhan tersier. (Latar Depan Alun-alun Kota Bogor. Sumber: Wikimedia Commons)

Like
Strata masyarakat di Indonesia berdasarkan ekonominya dibagi menjadi 3 kelas: rumah tangga kelas atas, rumah tangga kelas menengah, dan rumah tangga kelas bawah. Pembedaan tersebut mengacu pada kepemilikan harta dan penguasaan materi.
 
Orang yang memiliki pemberdayaan harta yang tinggi akan berada di kelas teratas. Sementara orang dengan ekonomi kurang mampu akan berada di tingkat bawah.
 
Di antara keduanya adalah kelompok kelas menengah. Kelompok ini bisa tidak bisa dikatakan 'miskin' karena mampu menghidupi kebutuhan sehari-hari serta berkecukupan. Namun mereka juga tidak bisa disebut 'kaya' karena hidupnya yang serba 'cukup'.
 
Menurut Bank Dunia, sekitar 52 juta orang Indonesia atau 20 persen dari total populasi merupakan kelompok kelas menengah. Populasi kelas menengah di Indonesia kian menurun akibat pengaruh gaya hidup, krisis ekonomi, dan kebijakan baru terkait ekonomi.

Badan Pusat Statistik menyebutkan penurunan populasi ini adalah kelompok kelas menengah yang turun kasta menjadi kelompok kelas bawah.
 
Kelas menengah yang rentan terkena gejolak ekonomi harus lebih memutar otak agar tidak turun kasta. Pasalnya, banyak tantangan ekonomi yang harus dihadapi kelas menengah.
 
Misalnya dalam hal bantuan sosial. Kelas menengah dianggap mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari terkadang diabaikan dalam pembagian sembako. Kelas menengah memang tidak menerima bantuan karena tidak cukup miskin, tetapi juga tidak cukup kaya untuk keamanan finansial.
 
Selain itu juga dalam hal pendidikan. Masyarakat kelas menengah mungkin bisa mengenyam pendidikan hingga menengah atas tetapi tidak banyak dari mereka yang meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Alasannya karena faktor ekonomi yang membuat kebanyakan dari mereka urung melanjutkan pendidikan demi melanjutkan hidup yang berkecukupan. Belum lagi masalah biaya UKT yang terkadang tidak masuk akal.
 
Belum lagi kebijakan pemerintah yang seakan menekan masyarakat dengan pendapatan rata-rata Rp1,2 juta hingga Rp7 juta tersebut.

Mereka terpaksa mendapat potongan penghasilan karena kenaikan PPN, tabungan perumahan rakyat, jaminan kesehatan yang terkadang pelayanannya malah dibedakan, naiknya harga kebutuhan pokok sepenting air minum, isu tidak diperbolehkan membeli bahan bakar sejuta umat, hingga yang terbaru soal tiket kereta commuter yang dibedakan berdasarkan strata sosial.

Sulitnya mencari pekerjaan dan kekhawatiran pemutus hubungan kerja juga menjadi pressure bagi kalangan kelas menengah.