Filosofi Adat Basandi Syarak: Makna di Balik Tradisi Minangkabau

Filosofi Adat Basandi Syarak: Harmoni Adat dan Islam dalam Budaya Minangkabau (Sumber gambar: Traveloka)

Filosofi Adat Basandi Syarak: Harmoni Adat dan Islam dalam Budaya Minangkabau (Sumber gambar: Traveloka)

Like

Be-emers, budaya Minangkabau terkenal dengan filosofi "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah," yang mencerminkan keharmonisan antara adat dan agama Islam dalam kehidupan masyarakatnya.

Ungkapan ini bukan hanya sekadar semboyan, tetapi juga menjadi panduan dalam setiap aspek kehidupan, mulai dari pemerintahan adat hingga hubungan sosial.

Namun, apa sebenarnya makna di balik filosofi ini? Dan bagaimana prinsip ini tetap relevan dalam kehidupan modern? Mari kita bahas lebih dalam.
 

Makna "Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah"

Secara harfiah, filosofi ini mengandung arti bahwa adat istiadat Minangkabau berlandaskan ajaran Islam, sedangkan Islam sendiri berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadis sebagai pedoman utama.

Konsep ini muncul dari pemahaman bahwa adat dan agama bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Dalam kehidupan sehari-hari, filosofi ini diterapkan dalam berbagai aspek, seperti:

1. Sistem Kekerabatan Matrilineal yang Berlandaskan Islam

Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan diturunkan dari pihak ibu, prinsip-prinsip Islam tetap dijunjung tinggi dalam proses pembagian warisan dan penentuan kepemimpinan keluarga.


Contohnya, dalam hal warisan, harta pusaka tinggi yang diwariskan kepada kaum perempuan, sementara warisan individu dibagi sesuai dengan hukum Islam.

Baca Juga: Budaya Korupsi, Ini 8 Strategi Mencegahnya


2. Kepemimpinan Adat yang Sejalan dengan Syariat

Pemimpin adat, atau ninik mamak, memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga harmoni masyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak hanya berpedoman pada adat, tetapi juga harus memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam.

Seorang pemimpin adat seharusnya adalah sosok yang memahami agama dan dapat menjadi panutan bagi masyarakatnya.


3. Musyawarah dalam Pengambilan Keputusan

Tradisi musyawarah, yang diungkapkan dalam pepatah 'bulek aia dek pambuluah, bulek kato dek mupakaik' (bulat air karena pembuluh, bulat kata karena mufakat), menggambarkan proses pengambilan keputusan secara kolektif dengan mempertimbangkan ajaran Islam.

Dalam musyawarah adat, pendapat para alim ulama sering dijadikan rujukan utama untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil tetap sejalan dengan nilai-nilai agama.