Anak Muda Enggan Belajar Pertanian, Kenapa?

Ilustrasi mahasiswa pertanian (Sumber: Freepik)

Ilustrasi mahasiswa pertanian (Sumber: Freepik)


Kuliah pertanian tapi bekerja di bank, emang boleh? Saya adalah contoh anak dari seorang ayah yang bekerja di salah satu perusahaan BUMN yang bergerak di bidang pertanian tapi enggan untuk kuliah di jurusan pertanian.

Ayah saya adalah lulusan Sekolah Pertanian Menegah Atas pada jamannya, tidak pernah mengecap bangku kuliah, namun memiliki posisi yang cukup berpengaruh di institusi tempatnya bekerja dulu sebelum pensiun. Saya rasa ini berkat kecakapan beliau dalam bekerja.

Sayangnya, tidak ada satu pun anak beliau yang mengikuti jejaknya. Kakak kedua saya pernah lulus SNMPTN untuk jurusan Pertanian di Universitas Sumatera Utara, namun memilih untuk berpindah ke D3 Keuangan setelah dua semester karena merasa tidak memiliki kecocokan di bidang tersebut. Dengan demikian, tidak ada yang terampil mengelola hasil pertanian bahkan setelah diwariskan sebidang tanah untuk dijalankan.
 

Peluang dan Tantangan Lulusan Pertanian

Dikutip dari Badan Pusat Statistik (BPS), hasil Sensus Pertanian pada tahun 2023 tahap 1, usia petani semakin tua dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Kelompok usia petani yang tidak produktif (berusia di atas 44 tahun) mencapai 67,68 persen dari total populasi 29,3 juta.

Sementara itu, berdasarkan artikel berjudul Analisis Minat Generasi Muda dalam Berwirausaha Bidang Pertanian Jagung dari jurnal Agribis, jika dilihat dari minat pada tingkat mikro, terdapat banyak alasan mengapa anak muda merasa bidang pertanian bukanlah favorit mereka saat ini.

Pertama, generasi muda berasumsi bahwa pertanian adalah sektor yang tinggi risiko karena sangat bergantung pada cuaca, iklim, bencana dan lain sebagainya. Sementara, anak muda justru tidak ingin bekerja dengan cuaca yang panas, bekerja keras di sawah atau ladang, dan sebagainya.


Kedua, anak muda bahkan yang tumbuh di lingkungan pertanian, tidak memiliki cukup pengetahuan tentang budidaya pertanian dan tidak pernah bercocok tanam.  

Selain itu, generasi muda juga beranggapan bahwa bertani memberikan penghasilan yang sedikit sementara modal yang dikeluarkan harus banyak. Dengan demikian, minimnya minat wirausaha di bidang pertanian membuat industri ini tidak banyak berkembang dan didominasi oleh metode tradisional.

Dilihat dari sisi positifnya, peluang industri untuk petani produktif yang bekerja linear di bidang pertanian sangatlah besar karena sumber informasi yang berlimpah.

Pertanian juga merupakan salah satu bidang usaha yang aplikatif karena bisa dilakukan oleh siapapun terlepas dari gender dan usianya. Di samping itu, bidang pertanian memerlukan inovasi-inovasi baru yang mayoritas dapat muncul dari generasi muda.

Peluang lain yang bisa dimanfaatkan petani muda adalah sifat adaptifnya terhadap perkembangan teknologi. Mereka bisa memaksimalkan hasil pertanian dari cara tradisional menjadi modern dengan penggunaan teknologi termuktahir.

Sebagai contoh, di Desa Jajar Kabupaten Trenggalek, tanah dengan luas 12 hektar yang ditanami jagung sawah menghasilkan 4 ton per hektarnya. Hasil panen tersebut dinilai relatif cukup maksimal untuk bisa didistribusikan ke luar daerah hingga bahkan ke luar negeri.

Dengan demikian, terdapat potensi besar bagi anak muda yang mau mendalami pertanian. Dalam jangka panjang, hal ini bisa mendukung transformasi pertanian Indonesia, terutama dengan dukungan dari sektor industri seperti Pupuk Kaltim.

Sebagai salah satu produsen pupuk urea terbesar di  Indonesia, Pupuk Kaltim sudah turut serta melakukan inovasi produk dan program edukatif seperti mengedukasi petani, termasuk generasi muda, agar mampu mengelola lahan pertanian secara efisien dan berkelanjutan.

Salah satu program Pupuk Kaltim yang menargetkan regenerasi petani adalah Agrosolution, yang tidak hanya memfasilitasi penyediaan bibit, pupuk, dan pestisida, perseroan juga memberikan akses permodalan, serta pendampingan berkala dalam pengelolaan lahan.

Tak sampai di situ, petani juga difasilitasi dengan asuransi pertanian untuk mengantisipasi gagal panen dan jaminan pembelian hasil panen oleh offtaker secara kontinu di atas rata-rata harga pasar.

Melalui kolaborasi seperti ini, mindset anak muda tentang pertanian adalah pekerjaan berat yang minim hasil bisa berubah. Seiring waktu, harapannya bukan hanya sekadar mengubah persepsi bahwa bertani itu ‘so yesterday’ atau tak cuan, tetapi juga menciptakan ekosistem pertanian baru yang lebih cerdas, inklusif, dan modern.

Dengan kata lain, ketika anak muda mulai kembali melirik sawah dan ladang sebagai ruang tumbuh dan berinovasi, pertanian Indonesia bukan hanya bertahan tetapi berkembang pesat.