Mencetak Entrepreneur dari Kampus Politeknik, Memang Bisa?

Vokasi itu keren ( Sumber gambar : edura.id)

Vokasi itu keren ( Sumber gambar : edura.id)

Like

Kampus sebagai sebuah fasilitator, mediator, dan penunjang ekosistem pembangunan sumber daya manusia ( SDM ) kompetitif di masa depan harus memiliki misi mulia dengan program terarah dan terukur dengan tidak hanya sekedar mendidik. Namun, juga mampu dengan signifikan memotivasi dan melatih setiap mahasiswa maupun mahasiswinya sehingga membentuk karakter yang mandiri, inovatif, dan jeli menciptakan peluang usaha dari hasil pengamatan sosial di sekitarnya.

Di Indonesia, kampus yang mencetak generasi penerus bangsa yang lebih kompetitif seperti di atas, inisiatornya lebih banyak di lahirkan dari lulusan politeknik. Kombinasi keahlian dan praktik, menjadi titik sentral, mengapa politeknik menjadi pilihan bagi kaum muda—yang bukan saja berharap ketika lulus nanti sekedar profesional tapi mampu mandiri dengan berwirausaha.

Menarik pula kita cermati, terlihat kebijakan pemerintah sekarang, yang mendukung pengembangan kampus politeknik di seluruh Indonesia. Dengan banyak melakukan kerjasama dan studi banding ke negara lain, sehingga nantinya di harapkan dapat di terapkan.

Beberapa negara yang di jadikan kiblat vokasi dunia, khususnya negara maju seperti Jerman dan beberapa negara seperti Australia, Tiongkok, Jepang, dan lain-lain, layak di adaptasi, karena memiliki pendidikan vokasi mumpuni mencetak kaum muda, yang bukan saja sekedar lulus dengan predikat profesional namun berani menciptakan peluang mandiri sebagai seorang entrepreneur.

Menyadari begitu krusialnya membangun sumber daya manusia yang unggul memiliki visi dan misi pendidikan komplet serta mampu membaca trend masa depan, pendidikan vokasi menjadi solusi atraktif. 


Bukan saja lulusannya sekedar profesional (ahli),  kampus politeknik menjadi salah satu pilihan jitu dan visibel, jika kaum muda ingin melatih karakter terpendam dalam dirinya yaitu berani terjun berwirausaha langsung mempraktikkan ilmu yang di dapat dalam masyarakat. Sehingga, lebih produktif. Tidak hanya berharap pekerjaan, tapi berani menciptakan lapangan pekerjan.

Bercermin pada trend kemajuan teknologi dan fenomena kependudukan usia produktif yang sering disebut bonus demografi, bangsa kita saat ini—yang di wakili oleh kampus-kampus sebagai pencetak generasi terdidik dan profesional di masa depan—harus segera manangkap peluang dan kesempatan tersebut. Diharapkan, berkolaborasi dengan kampus luar negeri dengan mengadaptasi kurikulum atau model program kewirausahaan yang terbukti berhasil mencetak entrepreneur handal.

Apalagi, saat ini tren startup begitu menjamur dan menjadi magnet kaum muda di Indonesia untuk terjun mewujudkan impiannya. Sejak keberhasilan beberapa startup lokal seperti Gojek, Tiket.com, Ruang Guru, Tokopedia, animo kaum muda menciptakan perusahaan sejenis sangat besar.

Gelagat seperti itu memang semakin sering terjadi dan melahirkan startup di beberapa kota besar, khususnya di Pulau Jawa. Padahal, pasar Indonesia sangat luas, berkaca dari 34 propinsi dan penduduk ratusan juta jiwa.

Kita ambil contoh Pulau Sumatera, khususnya provinsi Sumatera Utara, Provinsi Riau, dan Sumatera Selatan yang memiliki IPM tinggi dan penduduk cukup besar, masih minim di temukan startup mencolok dan go nasional. Padahal, kesiapan infrastruktur pendukung sudah terintegrasi seperti konektivitas internet, transportasi, co-working, dan beberapa kampus bahkan telah memiliki inkubator bisnis yang siap mencetak lahirnya entrepreneur dengan model startup.

Kita sebut saja, salah satunya yang memiliki inkubator bisnis di Sumatera utara, yakni Politeknik Wilmar Business Indonesia ( WBI ). Berdiri pula di Propinsi Riau yaitu Politeknik Caltex Riau ( PCR ) yang cukup serius mencetak profesional sekaligus mendorong “embrio” entrepreneur dari lulusannya.

Kedua kampus tersebut visibel membaca animo kaum muda yang tidak ingin hanya sekedar tampil sebagai profesional sebagai tenaga kerja, namun memiliki spirit change maker yaitu berani berinisiatif menciptakan pola atau tatanan baru dalam mewujudkan impiannya sehingga berdampak luas bagi masyarakat.

Keseriusan kedua kampus di atas dan beberapa kampus di Sumatera, perlu didorong untuk terus bertumbuh dan memerlukan dukungan berbagai pihak. Terutama pemerintah dengan kebijakannya seperti pemberian dana hibah, insentif, penghargaan, kompetisi, jejaring, agar semakin masif kampus politeknik di luar pulau Jawa untuk mencetak ikon entrepreneur muda lokal.

Bangsa ini harus mengakhiri pembangunan yang berpuluh tahun bersifat setralistik, jika ingin memeratakan keadilan sosial yang termaktub dalam undang-undang dasar 1945.

Oleh karena itu, politeknik bukan lagi sekedar “bertugas” sebagai kampus rata-rata atau konvensional tanpa spirit transformasi. Sehingga, acap kali hanya dianggap nomor kesekian.

Padahal realitasnya, politeknik dengan kemampuan adaptasi kurikulum entrepreneur dan fokus mengembangkan kemampuan profesional mahasiswa-mahasiswinya, layak menjadi tulang punggung pembangunan Indonesia dan menghadapi gelombang perubahan zaman disruptif. Politeknik zaman now, jelas menjadi pilihan komplet dan masuk akal.