Petani Berdaya, Petani Sejahtera

Mengharap Masa Depan (Sumber: Laura Ramadani)

Mengharap Masa Depan (Sumber: Laura Ramadani)

Like

Aku dibesarkan dalam lingkungan pertanian lahan tadah hujan. Nenekku dan kakekku petani, lahan mereka sempit pun berbatu. Di dusunku, jarang dijumpai tanah terbentang, kebanyakan berupa tanah di sela-sela batu-batu karang.

Di zaman purba, tempat tinggalku adalah dasar laut yang terangkat, lalu menjadi perbukitan, kerang-kerang  yang tertempel di bebatuan adalah buktinya, lalu tanah pun terbentuk seiring waktu.
 
Berbeda dengan lahan dari erupsi gunung berapi yang berpasir, tanah di sini lempung dan berat. Sumber air mengandalkan hujan, tidak ada sungai di permukaan karena sungai-sungai justru ada jauh di bawah tanah. Untuk bisa mengambil airnya, dulu warga harus menyusuri goa-goa atau liang  bumi yang dalam yang disebut luweng. 
 
Ketika hujan, tanah menjadi  lengket dan menggumpal, ketika kemarau tanah pecah-pecah hingga rongganya dapat dimasuki tangan seorang bocah. Sifat tanahnya basa dan tidak mudah ditembus perakaran tanaman semusim.

Baca Juga: Kita, AI, dan Pertanian: Apa yang Harus Kita Lakukan?

Hampir tidak pernah dicangkul karena keras, ketika kemarau atau bantat ketika musim hujan, istilahnya gubal. Pengolahan tanah menggunakan sejenis cangkul mini bermata tebal yang disebut gathul, atau lengis yang biasa untuk memecah batu.

Traktor sulit diterapkan bukan karena tidak canggih, tetapi karena batu cadas yang terpendam dalam tanah dapat merusak mata bajaknya. Lagi pula, kebanyakan lahan tidak datar, melainkan berundak. Jangankan traktor beroda empat, traktor tangan pun sulit menjangkaunya. Barangkali jika kelak ada robot humanoid, pengolahan tanah akan lebih efekif.


Nenekku dan kakekku, sebagaimana kebanyakan warga di sini, tidak pernah menanam dengan pertimbangan memenuhi permintaan pasar. Kebiasaanlah yang menjadi patokannya. Musim hujan pasti tanam padi atau jagung, pancaroba biasanya tanam ketela pohon atau kacang-kacangan, lalu musim kemarau tanam orok-orok, sejenis keluarga polong-polongan untuk penghijauan.

Meskipun kaya nutrisi, tajuk atau biji orok-orok jarang digunakan sebagai pakan atau pangan, mungkin warga takut keracunan. Tetapi daun orok-orok yang berguguran di penghujung kemarau akan menjadi pupuk alami di saat musim hujan. 

Nenek dan kakekku bertani untuk memenuhi kebutuhan keluarga karena lahannya kurang dari 2 ha, demikian hampir semua petani di sini. Luas lahan menjadi alasan tujuan bertani untuk perdagangan atau untuk konsumsi sendiri.