Hidup di Era Digital, Antara Harus Tampil Eksis atau Haus Validasi?

Hidup di era digital (Foto Freepik.com)

Hidup di era digital (Foto Freepik.com)


“Kalau nggak di-post, kayaknya ada yang kurang deh.”

Kedengarannya cuma bercanda, tapi coba jujur, berapa kali kamu juga merasa begitu?

Zaman sekarang, kita hidup di era di mana hampir segalanya perlu ditunjukkan. Dari makanan yang kita pesan, tempat kita nongkrong, sampai momen reflektif di tengah malam. Semuanya seolah harus punya “jejak digital”. Hidup terasa belum lengkap kalau belum dibagikan. Bukan lagi sekadar berbagi pengalaman, tapi juga menunjukkan keberadaan.

Dan begitulah cara budaya showing off tumbuh, bukan karena kita ingin pamer, tapi karena kita ingin diakui bahwa kita ada.


Antara Eksistensi dan Validasi

Sebenarnya, keinginan untuk diakui itu manusiawi. Manusia memang makhluk sosial, punya naluri untuk diterima dan dihargai. Tapi di dunia digital, dorongan alami itu berubah jadi obsesi yang tak kasat mata, likes, followers, comments.

Kita mulai menilai diri dari reaksi orang lain. Kalau postingan sepi, kita merasa gagal. Kalau dapat banyak pujian, kita merasa berharga.

Padahal, validasi digital itu fana. Hari ini ramai, besok dilupakan. Dan ironisnya, di balik setiap unggahan “hidup sempurna”, banyak yang justru menyimpan rasa kosong. Kita menampilkan versi terbaik dari diri kita, tapi seringkali reaitas tak seindah yang terlihat.


Bahkan tanpa sadar, banyak dari kita yang terjebak dalam sindrom FOMO (Fear of Missing Out). Takut ketinggalan tren, topik viral, atau momen kekinian. Rasanya harus selalu update, harus selalu terlihat ikut arus. Dan ketika tidak, muncul rasa cemas seolah kita tertinggal dari dunia.