Empat Pelajaran Bisnis dari JDrama Rikuoh

Cover JDrama Rikuoh/ Asiawiki

Cover JDrama Rikuoh/ Asiawiki

Like

Koichi Miyazawa, generasi ke-4 pemilik perusahaan tabi, kaos kaki tradisional Jepang, harus memutar otak agar perusahaannya bisa bertahan. Perkembangan zaman membuat permintaan tabi terus menurun. Inovasi baru sangat dibutuhkan bagi perusahaan tabi agar bisa tetap bertahan.  

Serial dorama Jepang berjudul Rikuoh (tayang 2017) ini memiliki tema yang unik karena membahas pengelolaan bisnis bercampur dengan kisah keluarga. Kisah dimulai ketika salah satu mesin jahit pembuat tabi perusahaan Koichi rusak. Hal itu menjadi kompleks karena sudah tidak ada yang menjual onderdilnya.Padahal, mereka tengah dikejar target pemesanan tabi dari salah satu supermarket. 

Koichi tidak menyerah, dia mencari onderdil yang masih cocok dari pasokan mesin jahit tua yang sudah rusak di pabriknya. Sayangnya, onderdil yang tersedia di pabriknya tidak ada yang bisa digunakan. Akhirnya, dia mencari ke salah satu eks pabrik tabi yang sudah tutup, berharap masih ada mesin jahit tua yang tersisa.

"Orang bank pasti mengira ini rongsokkan, tapi bagi kami ini adalah harta karun," ujar Koiichi yang yakin kalau pihak bank tidak akan mengambil aset mesin jahit tua tersebut.  

Namun, permasalahan bisnis tabi keluarga Miyazawa tidak cuma itu, tetapi juga masalah permintaan yang makin turun. Para pesaingnya mulai berguguran satu per satu, Koichi selaku Yondaime [Generasi ke-4] tidak ingin perusahaannya berakhir begitu saja. 


Apalagi, bisnis tabinya itu mempekerjakan puluhan orang yang sangat loyal. Sampai ada yang bekerja sejak generasi pertama seperti, Fukuko Nishii. 

Sebuah inspirasi muncul ketika Koichi mencarikan sepatu lari untuk anak perempuannya Akane Miyazawa. Koichi pun jadi berambisi ekspansi menjajal produk sepatu lari yang sedang digandrungi saat itu. 

Namun, perusahaannya membutuhkan biaya yang besar untuk membangun produk sepatu lari, terutama untuk riset dan pengembangan. Genzo Tomishima, direktur keuangan perusahaan sejak ayahnya memimpin sebagai generasi ketiga menolak rencana itu. 

Alasannya, perusahaan tidak memilki kas untuk ekspansi dan tidak mungkin menambah pinjaman ke bank karena permintaan di pasar sedang turun. Selain itu, Genzo bersama ayah Koichi pernah melakukan inovasi serupa di masa lalu dan gagal total. Hal itu yang menjadi pertimbangan utama sang direktur keuangan.  

Meskipun begitu, Koichi berkukuh ingin ekspansi memproduksi sepatu lari. Apalagi, setelah dia bertemu dengan Takahiko Murano seorang ahli sepatu olah raga yang baru dipecat oleh merek ternama asal Amerika Serikat (AS). 

Kira-kira, akankah Koichi sukses ekspansi produksi sepatu lari? biar enggak spoiler, saya enggak akan menjawab hal tersebut. Namun, saya akan membicarakan apa pelajaran bisnis yang didapatkan dari film tersebut?

1. Strategi Branding


Dalam membuat produk baru pastinya butuh branding yang kuat. Di sini, perusahaan keluarga Miyazawa menggunakan strategi duta produk untuk memperkenalkan produk barunya. Salah satunya, dengan mengajak salah satu pelari terkenal di Jepang bernama Hiroto Mogi, yang diperankan oleh Ryoma Takeuchi. 

Sayangnya, mencari duta produk itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Koichi pun mati-matian merayu Mogi untuk menggunakan produknya. Dengan harapan, jika produk sepatu larinya digunakan oleh Mogi, produk itu bisa langsung dikenal oleh masyarakat. 

Hal ini mengingatkan adegan Pele, legenda sepak bola dunia, yang sengaja mengikat sepatu agar menjadi perhatian dunia. Hal sepele dalam branding, tetapi bisa berdampak besar. 

2. Percaya dengan Karyawan dan Mitra Kerja


Koichi benar-benar diuji ketika berencana melakukan ekspansi produksi sepatu lari. Terutama, ketika dia mengajak Haruyuki Liyama bergabung ke perusahaannya. Koichi tertarik dengan Haruyuki karena dia adalah pemilik hak cipta teknologi bahan baku sol yang paling ringan. Dengan teknologi itu, Koichi bisa memproduksi sepatu lari yang ringan dan aman bagi penggunanya. 

Di sini, Koichi benar-benar percaya dengan Haruyuki untuk menjadi tulang punggung produksi sepatu larinya tersebut. Tak hanya itu, Koichi juga mempercayai pekerja-pekerjanya dari Fukuko, Akemi Masaoka, Misaki Nakashita, sampai Toshimitsu Yasuda dalam hal kelihaian menjahit produk sepatu lari.

Sayangnya, Koichi tidak memercayai anaknya, Daichi Miyazawa, untuk ikut bergabung. Padahal, dalam lubuk hati yang terdalam, dia ingin membantu ayahnya. Koichi hanya fokus meminta Daichi untuk mencari kerja di perusahaan lain.

3. Tak Pernah Menyerah, Meski Gagal Berkali-kali


Dalam membuat sepatu lari, Koichi, Haruyuki, Daichi, dan Toshimitsu Yasuda berkali-kali gagal. Bahkan, mesin pembuat bahan baku sol sepatunya sempat rusak. Kerusakan mesin itu bisa dibilang sangat fatal karena bisa menggagalkan rencana produksi sepatu lari. 

Namun, Koichi tidak pernah menyerah. Semangat Koichi itu menyadarkan Haruyuki tentang kenikmatan bekerja dan mengajarkan ilmunya kepada yang lebih muda. Mereka pun mencari cara untuk membuat mesin produksi bahan baku sol tersebut.

Tak hanya itu, Koichi juga tidak menyerah dalam mencari vendor kulit sepatunya. Setelah menemukan vendor yang pas dengan harga yang oke, tiba-tiba vendor itu membatalkan kerja sama. Alasannya, sang vendor dipaksa bekerja sama dengan produsen sepatu lari asal AS. 

Begitu juga saat menawarkan Mogi sebagai duta produk pertamanya tersebut. Koichi tidak pernah lelah memantau perkembangan Mogi yang sempat cedera parah dan terpuruk. Bahkan, dia terus mendukung calon duta produknya tersebut.

Dari film ini, kita diberikan pelajaran dalam membangun bisnis itu pasti akan mengalami kegagalan berkali-kali di berbagai lini hingga akhirnya bisa berhasil. 

4. Hormati Karyawan demi Produktivitas


Skala bisnis perusahaan tabi keluarga Miyazaki bisa dibilang masih berskala UMKM, tetapi mereka memiliki karyawan yang sangat loyal. Bahkan, pemimpin perusahaan tidak malu-malu mohon maaf kepada para pekerja demi menjaga perusahaan tetap berjalan semestinya. 

Karyawan bisa dibilang adalah aset dari sebuah perusahaan atau bisnis. Pasalnya, tanpa karyawan, bisa jadi bisnis perusahaan itu tidak berjalan dengan baik dan menghasilkan keuntungan. 

Dalam film ini pun diperlihatkan bagaimana Koichi sangat menghormati karyawan-karyawan yang sudah ada sejak dia masih kecil. Bahkan, ketika isu PHK merebak, dia memastikan semuanya akan tetap bertahan bagaimana pun caranya. 

Pasalnya, Koichi masih membutuhkan seluruh karyawannya untuk produksi sepatu lari. Karyawan sepuh memiliki pengetahuan teknik menggunakan mesin jahit tua tabi, sedangkan karyawan muda memiliki tenaga lebih besar dari yang sepuh. 

Untuk itu, dia memohon agar para pekerjanya tetap bekerja semaksimal mungkin. Bahkan, sampai harus lembur karena memproduksi tabi sekaligus sepatu lari juga.