Underprivileged Millennials, Sebuah Fakta di Kalangan Pemuda Indonesia

Underprivileged Millennials Illustration Web Bisnis Muda - Canva

Underprivileged Millennials Illustration Web Bisnis Muda - Canva

Like

Apakah kamu termasuk generasi yang lahir di antara tahun 1980 sampai 2000, Be-emers? Kalau iya, berarti kamu termasuk ke dalam generasi milenial, nih.

Banyak tantangan baru yang dihadapi oleh generasi milenial, khususnya di era revolusi industri 4.0 ini. Tak jarang, para milenial juga dituntut untuk mendapatkan pencapaian di usia-usia tertentu, seperti yang sempat ramai dibicarakan di sosial media Twitter.

“40 tahun ya kali belum punya rumah?” atau “Umur 25 tahun kok belum punya tabungan ratusan juta?”, pernyataan tersebut sempat membuat heboh dunia maya dan membuat banyak orang marah. Pasalnya, statement tersebut dilontarkan oleh orang-orang yang memang memiliki hak istimewa atau yang biasa disebut privileged people.

Hal tersebut membuat kesenjangan yang terjadi di negara ini semakin terlihat jelas dan bahwa banyak dari generasi milenial yang tidak memiliki hak-hak istimewa yang membuat perjalanan hidupnya lebih mudah. Nah Be-emers, itulah yang disebut underprivileged millennials.

Data menunjukkan bahwa sebagian besar generasi milenial di negara ini hanya memiliki pendidikan hingga tingkat sekolah menengah, bekerja di pekerjaan blue-collar (pekerja manual) atau layanan tingkat rendah, dengan pendapatan bulanan rata-rata hanya sekitar Rp 2 juta.


Menurut Wittgenstein Center for Demography and Global Human Capital, hanya 14,4 persen milenial di Indonesia yang memiliki pendidikan pasca sekolah menengah, sementara hanya 0,38 persen yang memiliki gelar sarjana. Dan menurut data BPS tahun 2017, upah rata-rata kaum milenial hanya berkisar Rp 2,1 juta.

Bahkan di wilayah kosmopolitan Jabodetabek, yang memiliki pendapatan per kapita terbesar di negara ini, sekitar 25 persen pria berusia 20 hingga 34 tahun dan 38 persen wanita hanya memiliki ijazah sekolah menengah pertama atau bahkan lebih rendah, menurut riset gabungan Universitas Nasional Australia dan studi Universitas Indonesia pada tahun 2010.

Banyak orang membayangkan bahwa milenial identik dengan pekerjaan white-collar (pekerja kantoran), high tech, atau startup lainnya. Namun, para milenial dengan tingkat pendidikan yang rendah, akan sulit untuk mendapatkan pekerjaan yang menjadi harapan generasi pendahulunya.

Menurut data BPS tahun 2017, sekitar 20 persen milenial adalah pekerja blue-collar, sementara sekitar 25 persen bekerja di bidang penjualan atau jasa, dibandingkan dengan hanya 1,4 persen yang memegang posisi manajerial dan 7 persen yang bekerja di pekerjaan profesional.

Ironisnya, saat ini Indonesia sedang mengalami “bonus demografi”, yang didefinisikan sebagai periode ketika populasi produktif suatu negara (berusia 15 hingga 64) melebihi populasi non-produktifnya (di bawah 15 dan di atas 64). Bonus demografi ini diperkirakan akan mencapai puncaknya pada tahun 2030.

Tidak seperti Korea Selatan yang menyambut baik dividen demografisnya, Indonesia melihatnya sebagai hal yang kompleks ketika dikaitkan dengan pasar tenaga kerja dan kondisi ekonomi.

Di sisi lain, Korea Selatan memiliki jumlah lapangan pekerjaan, terutama di bidang manufaktur, yang sesuai dengan jumlah generasi muda yang ada di negara tersebut.

Sementara itu, di Indonesia saat ini sedang mengalami apa yang oleh para ekonom disebut “deindustrialisasi dini”, dengan pangsa pekerjaan manufaktur stagnan tanpa pernah mencapai puncak seperti yang dinikmati oleh negara-negara industri sebelumnya, misalnya Korea Selatan.

Milenial juga memasuki angkatan kerja pada saat terjadinya transformasi global yang cepat dalam segala sifat pekerjaan. Yang mana hal tersebut ditandai dengan meningkatnya gig economy dan rentannya peningkatan lapangan kerja.

Tantangan-tantangan tersebutlah yang akhirnya menjadi bagian dari hidup para kaum milenial. Terutama bagi para underprivileged millennials yang relatif harus bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan menggapai suatu pencapaian dibandingkan dengan kaum milenial yang memiliki hak istimewa.

Punya rumah atau belum, punya tabungan atau tidak, tolak ukur pencapaian setiap orang tidak bisa disamaratakan. Banyak perbedaan latar belakang yang jadi penentu pencapaian masing-masing orang.

Jika kamu merasa tidak memiliki privilege dalam hidupmu, percayalah Be-emers, kamu akan kuat dan mampu untuk mencapai semua impianmu dengan kerja kerasmu sendiri. Oleh karena itu, tidak perlu berkecil hati ketika kamu merasa bahwa kamu belum memiliki pencapaian apapun. Semua pasti akan terjadi tepat pada waktunya, kok!

Intinya, tetap semangat dan jangan mudah menyerah ya, Be-emers!