Apa Itu Strategi ‘Retail Rejection’ pada Luxury Brands?

Apa Itu Strategi ‘Retail Rejection’ pada Luxury Brands? Illustration Web Bisnis Muda - Image: Canva

Apa Itu Strategi ‘Retail Rejection’ pada Luxury Brands? Illustration Web Bisnis Muda - Image: Canva

Like

Be-emers, pernah nggak sih kamu datang ke suatu toko di mall atau pusat perbelanjaan lalu malah dicuekin bahkan diremehkan oleh pelayannya?

Mulai dari sikap dingin hingga gestur si pelayan yang menggambarkan seakan kamu tidak mampu membeli produk apapun dari toko tersebut. Umumnya, banyak konsumen yang terpancing emosinya dengan langsung membeli banyak produk bahkan produk yang paling mahal sekalipun.

Padahal kamu tau nggak sih, Be-emers, bisa saja kamu sedang terjebak dalam strategi marketing mereka, lho! Yup, namanya strategi retail rejection. Walaupun berisiko terhadap brand yang menerapkannya, strategi ini umum dipakai pada retail-retail brand mewah atau luxury.

Penasaran nggak sih sebenarnya apa sih strategi retail rejection itu? Yuk kita bahas bersama, Be-emers!
 

Strategi Retail Rejection

Istilah retail rejection mengacu pada bentuk aktivitas sosial yang umumnya diterapkan oleh brand luxury, misalnya seperti konsumen yang diperlakukan kurang baik oleh pelayan toko yang bertujuan untuk memancing emosi dan meningkatkan desire to buy dari konsumen tersebut.

Dengan menerapkan social retail rejection tersebut, konsumen seringkali menjadi kesal dan ingin membuktikan bahwa mereka mampu membeli produk-produk yang ditawarkan di toko tersebut, termasuk produk dengan harga yang paling mahal sekaligus.


Bahkan, menurut penelitian Darren Dahl dari University of British Columbia’s Sauder School of Business dan juga Morgan Ward dari Emory University’s Goizueta School of Business, banyak orang yang lebih ingin merasa diterima di lingkungan yang menolak mereka.

Selain itu, para pelayan atau staf toko yang meremehkan justru bisa meningkatkan keinginan dan rasa gengsi konsumen untuk akhir membeli dan membayar produk tersebut.
 

Penerapan Strategi Retail Rejection

Walaupun terlihat mudah dan menguntungkan, namun strategi yang satu ini nggak bisa asal diterapkan pada seluruh jenis bisnis, Be-emers! Ada beberapa hal yang menentukan tingkat keberhasilan suatu ritel dalam menerapkan strategi ini, yaitu:
  1. Brand memiliki representasi citra atau status tertentu yang diinginkan dan diimpikan oleh konsumen
  2. Umumnya, konsumen terbagi dalam dua kriteria konsep, yaitu konsep aktual (barang apa yang bisa dibeli) dan konsep ideal (barang apa yang ingin dibeli). Nah, suatu brand bisa menjadi konsep ideal jika seseorang ingin menjadi salah satu konsumen brand tersebut. Makanya, banyak orang yang rela membayar mahal untuk membeli suatu barang dari brand tertentu.
  3. Staf yang tak ramah juga bisa terlihat berbeda, lho. Misalnya staf tidak ramah yang memakai pakaian rapi dan formal akan terlihat lebih cerdas dibandingkan dengan staf yang tidak ramah namun memakai pakaian yang biasa dan sederhana.
 

Risiko Strategi Retail Rejection

Walaupun dengan memancing emosi konsumen bisa mendatangkan keuntungan, namun risiko jangka panjangnya bisa bikin repot nih, Be-emers! Soalnya, konsumen akan mengingat perasaan ketika mereka direndahkan saat membeli produk brand tersebut. Tak jarang, citra brand tersebut malah menjadi rusak.

Nah, jika kamu baru merintis dan belum memiliki branding yang kuat pada bisnismu, lebih baik kamu menghadirkan pelayanan yang ramah, agar konsumen memiliki pengalaman yang baik terhadap brand-mu dan akhirnya mempromosikan lewat word-of-mouth ke orang lain.

Jadi lebih menguntungkan, bukan?