Bangkrut (sumber gambar: pixabay)
Likes
Salah satu ketakutan seseorang untuk memulai bisnis adalah rugi, sampai dengan bangkrut. Kalau sudah bangkrut, biasanya dikaitkan dengan uang yang melayang begitu saja.
Wajar, sebab manusia pada hakikatnya tidak mau kehilangan yang dimilikinya. Padahal, sejatinya tidak ada yang dimiliki manusia selain amal. Ya 'kan? Harta yang ada padanya adalah titipan dari Allah. Benar nggak?
Kalau kamu membaca kisah para pengusaha atau perusahaan, akan kamu temukan banyak sekali kisah tentang kebangkrutan mereka. Contohnya handphone.
Kamu yang termasuk generasi 80 atau 90-an pasti tahu merek yang bernama Nokia. Handphone Nokia terkenal tahan dan awet. Dibanting berkali-kali tetap masih normal saja.
Bandingkan dengan kamu yang punya iPhone, dibanting mungkin akan langsung retak. Tapi, masa iya sih kamu mau membanting handphone merek itu?
Handphone Nokia jadul
Nokia merajai dunia pada saat itu. Namun, kini namanya tinggal kenangan masa lalu. Hampir tidak ada lagi yang pakai merek itu. Hampir semua orang sudah pakai Android, handphone layar sentuh, meskipun pada akhirnya lebih banyak menyentuh handphone daripada pasangan sahnya, eh!
Bagi seseorang yang memutuskan untuk berbisnis, resiko bangkrut pasti akan selalu ada. Akan tetapi, balik ke mindset, sambil tekan jari ke pelipis berkali-kali. Ketika benar-benar bangkrut, apa yang dilakukan?
Apakah menyerah begitu saja dan berhenti jadi pengusaha atau berhenti punya keinginan untuk jadi pengusaha lagi? Apakah menyalahkan orang? Atau bahkan terkena gangguan jiwa hingga harus masuk RSJ? Semoga yang terakhir ini tidak sampai terjadi ya!
Pengusaha yang memang mentalnya betul-betul pengusaha, akan selalu bisa menemukan cara untuk bangkit lagi. Selalu saja semangat untuk memulai lagi.
Baca Juga: Beberapa Kesalahan yang Sering Dilakukan Pebisnis
Bangkrut bukan dianggap sebagai azab atau hukuman dari Allah, melainkan sebagai sarana untuk belajar. Jika manusia berbisnis berhasil terus, bisa jadi nanti akan timbul kesombongan. Akhirnya jadi bangga diri dan cenderung meremehkan orang lain.
Nah, ketika itu terjadi, Allah menegur dengan memberinya bangkrut. Tujuannya agar manusia itu merasa lemah, kembali kepada Allah, dan itu tadi, memulai lagi. Bangkit lagi.
Kalau hanya bicara atau menulis sih gampang, tetapi menjalaninya? Tentu memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin bukan? Walaupun bangkrut itu bikin nyesek, tetapi ada cara-caranya untuk bangkrut lebih cepat. Malah ada tiga caranya. Apa saja itu?
3 Cara Bangkrut Lebih Cepat, Jangan Coba!
Bangkrut (Ilustrasi: Canva)
1. Berhenti Belajar Karena Merasa Diri Sudah Pintar
Penyakit yang satu ini dapat menghinggapi pengusaha, apalagi bagi pengusaha yang selalu berhasil membuka bisnis. Dia merasa, tangan dinginnya selalu membawa keberuntungan.
Merasa paling pintar dan cerdas. Merasa jumawa di atas orang lain. Merasa selalu di atas angin. Merasa selalu naik daun. Padahal, yang selalu naik daun itu 'kan ulat. Masa mau disamakan dengan ulat? Hiii...
Pada dasarnya, seorang pebisnis itu juga seorang pembelajar. Dia harus selalu belajar dari apapun dan siapapun. Dari kesalahannya sendiri, dari kesalahan orang lain, dari tren yang ada sekarang, dari peluang di masa yang akan datang, dan lain sebagainya.
Media belajarnya juga bermacam-macam. Bisa dari buku-buku bisnis, pengembangan diri, biografi pengusaha besar, bahkan cerita fiksi pun dapat sebagai ilmu.
Ketika seorang pengusaha itu rajin belajar, maka dia akan punya segudang ilmu. Segudang pula pengalaman, terutama dari orang lain yang sudah menjalaninya.
Jadi, ketika menemukan masalah yang sama, dia tahu solusinya. Dia tahu cara pemecahannya. Dan, akhirnya, keluar dari masalah itu. Keluar dari potensi bangkrut juga.
Sebaliknya, jika tidak pernah belajar, tiba-tiba bisnis ditikung oleh orang lain, bagaimana? Mungkin dia akan gelagapan. Lho, kok bisnisku jadi begini? Kok bisnis orang lain yang sama dengannya bisa makin maju?
Baca Juga: “Berjualan” sebagai Alat Pencarian Jati Diri
Nah, akhirnya jadi penyesalan bukan? Orang lain sudah jauh di depan, yang tidak mau belajar itu tetap di tempat, bahkan semakin mundur dan menjauh.
Sekarang, begitu mudahnya untuk belajar tentang bisnis. Ada begitu banyak sarana yang bisa dipakai. Malah, saking banyaknya sarana, kita jadi bingung sendiri. Yang mana mau dipilih? Kalau untuk ini, dikembalikan saja kepada urgensinya.
Apakah hari ini mau belajar tentang copywriting? Apakah pekan depan mau belajar bikin landing page? Apakah bulan berikutnya mau belajar tentang video promosi? Apapun, kembali kepada kebutuhan masing-masing, oke?
2. Melupakan Keluarga
Ada hal-hal yang dikorbankan ketika membangun bisnis. Salah satunya adalah waktu. Saya pernah membaca buku biografi seorang pengusaha besar. Awal merintis dulu, berangkat dari rumah pagi-pagi. Baru kembali setelah tengah malam.
Terus, kapan ketemu dengan anak-anaknya? Dia sibuk sekali membangun bisnis. Dan, sekarang bisnisnya memang menggurita di mana-mana. Tapi, sampai sekarang dia tidak bisnis jual beli gurita lho ya!
Hal yang harus diwaspadai seorang pengusaha adalah benar-benar melupakan keluarga, benar-benar melupakan kebersamaan dengan keluarga. Saat di rumah tidak sempat menyapa, sekadar bersalaman saja tidak pernah. Apalagi meluangkan waktu lebih intens lagi.
Anak-anak tidak diajak belajar bersama. Pokoknya, begitu menjadi pengusaha, lupa segalanya. Padahal, dia menjadi pengusaha, bukankah niat awalnya ingin meningkatkan taraf hidup keluarga?
Sejatinya, keluarga tetaplah penting. Sebab, di situlah ada doa dari mereka. Seorang pengusaha yang notabene juga seorang ayah dan kepala keluarga, akan lebih merasa nyess di hati apabila pamit dari rumah mendapatkan senyum dan kecup mesra dari mereka, terutama istri.
Dia akan lebih tenang di hati dan makin terpacu untuk mencari hasil bisnisnya yang baik dan halal.
Ketika kembali ke rumah pun, pengusaha tersebut juga tetap nyess di hati. Setelah capek seharian berbisnis, membangun jaringan di sana-sini, pulang ke rumah mendapati keluarga menyambut dengan ramah.
Dia juga merasakan kegembiraan dan capeknya pun hilang. Besoknya lagi, semangat lagi! Gas lagi! Kalau pengusaha atau pebisnis tidak peduli kepada keluarganya, maka ketika dia mendapatkan hasil bisnis, masa mau dimakan sendiri?
3. Menganggap Calon Konsumen, Konsumen, dan Pelanggan Seperti Sapi Perah
Promosi hingga spam (Ilustrasi: Canva)
Saya memang tergabung dalam beberapa grup bisnis, baik itu di WhatsApp maupun Telegram. Saya menerima cukup banyak pesan masuk yang tiba-tiba menawarkan barang, jasa, atau apapun. Mereka tahu nomor saya karena memang tercantum dengan jelas di daftar anggota grup.
Ini 'kan kurang beretika. Dia datang tidak perkenalkan diri, tahu-tahu menjual sesuatu. Salam juga tidak. Pokoknya tunjleb poin, langsung pada intinya: jualan. Hal seperti itu, membuat saya pun melakukan "perlawanan".
Wah, kok bahasanya "perlawanan" ya? Maksudnya saya memberikan respon yang negatif. Saya tinggal pilih fitur laporkan dan blokir. Kalau sudah begitu, bagi dia 'kan tertutup satu pintu rezeki, tertutup satu pintu peluang calon konsumen jadi konsumen. Sayang sekali bukan?
Fenomena scrape pun masih ada sampai sekarang. Mengambil nomor HP atau email dari grup-grup, lalu ditembaki dengan pesan penawaran bisnis. Orang-orang 'kan jadi jengkel.
Kalau mengambilnya dengan cara yang legal, misalnya membagi lead magnet, entah itu memberikan e-book atau voucher atau sampel produk, tetapi syaratnya harus mengisi nama, email, dan nomor WA, maka itu berarti kita memberikan secara sukarela. Sama-sama untung. Kita dapat sesuatu, dia juga dapat sesuatu.
Begitu pula ketika calon konsumen sudah jadi konsumen, bahkan pelanggan. Saya pernah membeli produk digital dari seorang digital marketer. Hampir tiap hari dia mengirimkan email penawaran barang.
Pokoknya jualan. Hampir tidak pernah sharing ilmu, atau apalah, yang tidak harus berupa jualan. Kalau ingin dapat ilmu, maka harus ikut e-coursenya. Itu tadi, e-coursenya berbayar.
Orang Indonesia itu pada dasarnya suka yang gratisan. Oleh karena itu, bisa dimanfaatkan dengan memberikan sesuatu tidak harus bayar. Kalau pun diterapkan funneling, awalnya gratis, makin ke sini, bayar, mungkin orang tidak kaget.
Baca Juga: Rentan Bangkrut di Tengah Pandemi, 3 Sektor Startup Ini Malah Cuan
Namun, jika langsung dijuali, apalagi jor-joran tiap hari, maka itu bisa membuat jengah juga. Akhirnya unsubcribe. Kan hilang satu database. Bagaimana kalau lebih dari satu? Maka, database yang menjadi kunci pebisnis online itu pun mulai keropos.
Konsumen atau pelanggan jangan dijadikan sapi perah, artinya hanya ingin diambil uangnya atau dikuras dompetnya. Jadikan konsumen atau pelanggan tersebut sebagai mitra juga. Artinya, kita berusaha untuk terus bantu permasalahannya.
Menyelesaikan problemnya. Membantunya selangkah demi selangkah. Kalau sudah begitu, mereka juga akan tetap nyaman berhubungan dengan kita. Ada kalanya dijuali, ada kalanya istirahat dulu.
Tidak Ada yang Mau Bangkrut
Pada dasarnya, bangkrut memang tidak dikehendaki setiap pebisnis. Jarang sekali ada pengusaha yang inginnya bangkrut saja, kecuali orang yang punya harta banyak, lalu ingin membuka bisnis. Kan harta banyak tidak harus dari bisnis bukan?
Dia buka sembarang bisnis, mau untung, mau rugi, terserah, yang penting punya bisnis. Kalau yang seperti itu, kiranya bangkrut lebih patut deh! Jika memang bangkrut menjadi salah satu resiko dalam berbisnis, jangan sampai dibuat lebih cepat ya! Bangkrut itu ibaratnya patah hati. Nyesek!
Punya opini atau tulisan untuk dibagikan juga? Segera tulis opini dan pengalaman terkait investasi, wirausaha, keuangan, lifestyle, atau apapun yang mau kamu bagikan. Submit tulisan dengan klik "Mulai Menulis".
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
Gabung juga yuk di komunitas Telegram kami! Klik di sini untuk bergabung.
Komentar
26 Jun 2023 - 20:16
Ketika aset sudah tidak bisa dipergunakan semestinya