Pilihan Dilematis, Kenaikan UMR atau Pertumbuhan Ekonomi

Ilustrasi: Alexander-gray-unsplash

Ilustrasi: Alexander-gray-unsplash

Like

Topik ini tidak berlaku bagi Anda yang bekerja di level manajerial. Namun bagi mereka yang masih mengandalkan hidup dengan upah minimun, maka setiap kebijakan upah minimum akan menentukan nasib dari para pekerja.

Sering dong kita melihat demo besar-besaran yang dipimpin oleh Pimpinan Serikat Buruh dan buruh dari berbagai Perusahaan. Tuntutan yang selalu mendera mereka adalah kenaikan UMP atau upah minimum  tidak sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka..

Setiap tahun kebijakan UMP akan direview. Kenaikannya ikut menenutkan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2024.

Dalam kondisi yang tidak pasti karena masih adanya gejolak global, pelemahan ekspor, dan investasi yang masih menunggu sampai pemilu (investor selalu melihat dan menunggu atau istilah kerennya “wait and see”), UMP jadi andalan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap terjaga 5 persen.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang cukup besar yaitu sekitar 270 juta, lalu ekonomi domestik kuat karena didukung oleh konsumsi dari rumah tangga. Sumbangsih konsumsi ini jadi kontributor terbesar dari pertumbuhan ekonomi sekitar 51-57 persen terhadap PDB.


Nah jika UMP dan UMK jadi indikator untuk pertumbuhan ekonomi, sementara pemerintah mengharapkan agar upah baru diimplementasikan agar buruh sejahtera.

Dilematisnya bahwa jika kenaikan UMP/UMK justru membalikkan arah dimana para investor atau pengusaha merasa berat menaikkan upah karena produksi mereka belum sepenuhnya maksimal karena kondisi eksternal.

Sementara jika UMP atau UMK dinaikkan pasti kenaikan itu akan membuat para ibu rumah tangga atau buruh membelanjakan kenaikan untuk konsumsi. Pada akhirnya akan menaikkan pertumbuhan ekonomi.

Dari segi konsumsi, perlu diingatkan bahwa konsumsi kelas menengah berdampak ketimbang mereka dari kelompok bawah. Kelompok yang berpenghasilan rendah akan menghabiskan uangnya untuk konsumsi makanan tanpa adanya tabungan. 

Sementara kelompok berpenghasilan menengah ke atas akan menabung, membeli asuransi, dan sebagainya. Dampak yang ditimbulkan untuk sektor perekonomian akan jauh lebih luas.

Sayangnya, hal ini tidak bisa berbanding lurus dengan kondisi dari para pengusaha atau investor yang melihat kenaikan UMP/UMK justru jadi batu beban bagi mereka.


Apa yang terjadi jika UMP/UMK tidak naik atau hanya naik 4 persen?


Dampak kenaikan UMP/UMK sebesar 4 persen itu tidak akan meningkatkan konsumsi karena kenaikan itu dianggap sangat kecil.  

Jika dibandingkan dengan inflasi dari barang atau konsumsi bahan makanan yang kenaikannya jauh lebih dari 4 persen, maka kenaikan UMP/UMK itu akan tergerus dari inflasi.

Katakan proyeksi inflasi tahun depan sebesar 3-3,8 persen, lebih besar dari inflasi tahun 2023 yaitu 2-2,8 persen. Dengan adanya kondisi harga yang tinggi, tentunya daya beli warga akan berkurang.

Apalagi pendapatan tergerus inflasi. Konsumsi rumah tangga melambat walaupunn pertumbuhan ekonomi secara nasional masih cukup tinggi.

Itulah dilema dari dunia usaha, dunia rumah tangga dan konsumsi di tahun 2024 yang tidak mencerahkan. Satu sisi ada yang berharap kenaikan UMP/UMK seharusnya 8 persen tidak 4 persen, tapi dunia usaha tidak mampu melakukan karena keadaan geopolitik dan ekternal yang tidak stabil.

Punya opini atau tulisan untuk dibagikan juga? Segera tulis opini dan pengalaman terkait investasi, wirausaha, keuangan, lifestyle, atau apapun yang mau kamu bagikan. Submit tulisan dengan klik "Mulai Menulis".
 
Submit artikelnya, kumpulkan poinnya, dan dapatkan hadiahnya!
 
Gabung juga yuk di komunitas Telegram kami! Klik di sini untuk bergabung.