KASUS JOUSKA: Belilah Saham Salah Harga, Bukan di Harga yang Salah

Ilustrasi (Foto: Freepik)

Ilustrasi (Foto: Freepik)

Like

Ketika mengajar, Dosen Financial Management saya sering berkata, "Price is what you pay. Value is what you get."

Dia senang mengutip pernyataan Warren Buffet, salah satu value investor ternama di dunia, karena menurutnya, kutipan ini sangat relevan saat kita berinvestasi.

Berikut kutipan aslinya:

“Long ago, Ben Graham taught me that ‘Price is what you pay; value is what you get.’ Whether we’re talking about socks or stocks, I like buying quality merchandise when it is marked down.”
Warren Buffett

PRICE & VALUE

Harga dan nilai. Baik harga dan nilai adalah dua sisi dari koin yang sama. Kita wajib hukumnya memahami perbedaan antara harga dan nilai karena keduanya adalah prinsip utama dan sangat penting dari konsep Value Investing.

Mari kita pelajari perbedaan antara harga dan nilai dengan bantuan contoh yang sangat sederhana.

Suatu hari, kamu berencana untuk membeli ponsel baru di toko online. Lalu, dari sekian banyak ponsel, kamu tertarik pada ponsel X dengan spesifikasi 6GB dan 128GB memory. Harganya dibanderol Rp5 juta pada hari ini.

Keesokan harinya, harga dari ponsel tersebut meningkat menjadi Rp6 juta. Apa yang terjadi? Apakah value atau kualitas dari ponsel itu naik?


Boleh dikatakan tidak ada perubahan kualitas pada ponsel itu. Spesifikasinya tetap sama. Namun, kamu harus membayar ponsel dengan harga lebih tinggi. Nilai yang sama dengan harga yang lebih tinggi. Apakah itu baik itu kantong kamu?

Yang bisa dipelajari di sini adalah harga akan naik jika value atau nilai atau kualitas barang itu naik. Itu yang penting. Suatu perusahaan atau saham suatu perusahaan akan naik harganya jika kualitas atau kinerja perusahaan itu meningkat.

Growth company. Itu dasar yang harus dipegang dalam berinvestasi saham.

Di pasar saham sendiri, hal ini normal terjadi. Saham-saham Blue Chips harganya terus meningkat karena kinerja mereka juga terus tumbuh. Saham BBCA (Bank Central Asia) misalnya, tidak ada yang meragukan kualitas kinerja bank ini. Lihat saja harga sahamnya, terus naik dari tahun ke tahun.

Berbicara masalah value dan price, Lo Kheng Hong selalu menyarankan untuk membeli saham yang salah harga. Artinya apa?

Sederhana, belilah saham di harga yang lebih murah dari value-nya. Dengan demikian kamu adalah seorang investor yang beruntung.

Salah satu indikator yang biasanya untuk melihat murah atau tidaknya suatu saham adalah Price to Book Value (PBV) dan Price to Earnings Ratio (PER).

Biasanya, saya menilai perusahaan atau saham itu undervalue (baca: murah) ketika PBV di bawah 1 kali dan PER di bawah 10 kali. Simpel.

Jika ingin lebih detail, kamu bisa membandingkan PER dan PBV suatu saham dengan pesaing di industri sejenis.

Contohnya, jika kamu ingin melihat apakah saham BBCA undervalue atau tidak, kamu bisa membandingkan PBV dan PER saham BBCA dengan PBV dan PER bank-bank lain yang levelnya sama seperti BBCA, misalnya Bank Mandiri (BMRI) atau BRI (BBRI) atau BNI (BBNI).

Sebetulnya ada faktor lain yang bisa kamu perhatikan juga. Namun, untuk sederhananya, cukup dua indikator itu yang bisa jadi pijakan awal ketika menilai suatu saham apakah UNDERVALUE atau OVERVALUE.

Undervalue artinya harga saham itu murah dan belum merepresentasikan nilai aslinya, sedangkan OVERVALUE artinya harga saham itu sudah kemahalan.


KASUS JOUSKA

Nah, salah satu saham yang sedang ramai diperbincangkan adalah PT Sentral Mitra Informatika Tbk. (LUCK). Saham ini jadi sorotan karena banyak investor yang nyangkut dan rugi di sana. 

Para investor ini berada di bawah "arahan" Jouska, suatu perusahaan yang ngaku sebagai "Financial Advisor", tetapi izin awalnya sebagai perusahaan pertanian dan kehutanan. Weleh-weleh.

Sebetulnya, LUCK ini merupakan perusahaan yang masih tumbuh. Jika dilihat di harga saat ini, yaitu sekitar Rp300 per saham, saham ini masih terbilang wajar value-nya.

Masalahnya adalah ketika membelinya di harga Rp1.000 per saham, apa justifikasinya? Kenapa kita begitu irasional mau membeli saham LUCK di harga semahal itu?

Baiklah, daripada memperpanjang mukadimah, berikut beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari kasus Jouska.

1. Belilah saham salah harga, bukan di harga yang salah.

2. Belilah value sebuah perusahaan, bukan nilainya.

3. Kenali isi produk yang ingin dibeli, bukan kulitnya.

4. Investasi dikelola diri sendiri, bukan orang lain.

5. Belajar investasi wajib hukumnya, bukan sekadar ikut-ikutan kata orang.

6. Kritis itu tidak haram, bukan hanya manut tanpa pijakan.


Selamat berinvestasi (sendiri) ya!