Harum Bisnis Kopi Sebagai Subsektor Potensial bagi Perekonomian Indonesia

Ilustrasi. Foto: shutterstock

Like

Di pagi hari, sering kita temui masyarakat Indonesia memulai aktivitas sembari mengenggam secangkir kopi di tangannya. Setelah seharian beraktivitas, kedai kopi yang sudah menjamur di berbagai penjuru dipenuhi dengan orang-orang yang sedang bercengkrama ditemani secangkir kopi.

Menyeruput secangkir telah berkembang menjadi gaya hidup di masyarakat Indonesia. Pernyataan itu datang dari pemerhati gaya hidup dan makanan Kevindra Soemantri. Klaim Kevindra terkait kopi di Indonesia bukan tanpa alasan.

Hal itu dapat dilihat dari jumlah konsumsi kopi nasional yang telah dihimpun Pusat Data dan Sistem Informasi Kementrian  Pertanian pada 2016 yang mencapai 249.800 ton. Angka itu pun terus merangkak naik.  Pada 2021, pasokan kopi diprediksi mencapai 795 ribu ton dengan konsumsi 370 ribu ton, sehingga terjadi surplus 425 ribu ton.

Setiap Negara punya cara berbeda saat ‘berkenalan’ dengan kopi. Di Indonesia, industri kopi justru berkembang saat rakyatnya tengah merasakan penderitaan mendalam akibat “tanam paksa” yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda pada 1830 hingga 1870. Sadar wilayah jajahannya punya lahan subur, Hindia Belanda kala itu secara besar-besaran menanam biji kopi di hampir seluruh wilayah nusantara.

Pada perkembangan berikutnya, masyarakat Indonesia kini semakin intim dengan kopi. Saking intimnya, muncul budaya ngopi yang dipelopori oleh hadirnya dua kopi di kawasan Plaza Indonesia, Jakarta Pusat di era 1990-an. Kedua kedai itu antara lain, Café Excelso dan Oh-La-La diyakini oleh pemerhati bisnis Kafi Kurnia sebagai pionir menjamurnya kedai kopi di Jakarta, bahkan Indonesia.


Kopi bukan hanya milik mereka yang berada di kalangan menengah ke atas. warung kopi (warkop) yang biasa kita temui di berbagai lokasi juga menjadi alternative lain bagi masyarakat yang ingin menyeruput nikmatnya kopi dengan harga miring.

Kegemaran masyarakat Indonesia mengonsumsi kopi rupanya selaras dengan potensi produksi kopi tanah air. Sumber daya alam kita seakan mendukung jika rakyatnya doyan menyeruput kopi. Pasalnya, data dari Kementrian Pertanian menunjukan Indonesia berada di peringkat ke empat produsen kopi terbesar di dunia. pada periode 2016- 2017, Industri kopi Indonesia menghasilkan 600.000 ton kopi. Setidaknya, Indonesia punya sumbangsih 6,60?ri kebutuhan kopi di seluruh dunia.
 

Menengok Kesuksesan Raja Kopi Dunia

Miliki sumber daya alam yang melimpah dan pasar yang luas, bukan berarti bisnis kopi Indonesia bebas dari hambatan. Indonesia masih punya kompotitor yang tidak kalah produktif memproduksi kopi. International Coffe Organization merilis Indonesia masih berada di belakang Brazil dan Vietnam yang masih merajai produksi kopi di dunia.

Sebelum menjadi raja kopi, Brazil sempat dirundung berbagai permasalahan yang membuat produksi Negaranya sempat tidak stabil. Industri kopi brazil sempat alami masalah ketika kredit dan subsidi terhadap industri ini dicabut. Akibatnya, penurunan jumlah petani muncul seiring pencabutan kredit tersebut.  

Promosi investasi menjadi salah satu cara negeri samba ini menghidupkan geliat bisnis kopi. Promosi investasi didasari pada fakta bahwa untuk memproduksi kopi dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi dibutuhkan biaya produksi yang tinggi pula.

Itu artinya, pendanaan menjadi masalah paling krusial. Namun, pemerintah yang tidak berpihak pada industri karena alokasi dana Negara ditujukan untuk sektor lain. Di sinilah peran investor muncul. Investor akan menanamkan investasinya di tempat yang dianggap memiliki prospek keuntungan yang tinggi.

Meski investor punya peran vital, bukan berarti tidak ada campur tangan pemerintah dalam menghidupkan bisnis kopi. Pemerintah Brazil menerapkan Lei do Bem (Good Law) mengatur tentang pengurangan pajak bagi perusahaan yang melakukan investasi dalam bidang R&D.

Kedua, insentif regional berupa pengurangan pajak sampai dengan 75?gi investor yang menanamkan investasinya di dua wilayah penanaman dan industri kopi. Dengan iklim kondusif seperti itu, investor tidak ragu lagi untuk menanamkan modalnya di industri kopi brazil. 

Formula itu menjadi kunci kesuksesan Brazil merajai industri kopi dunia. sudah saatnya, Indonesia merumuskan formula lain dalam memaksimalkan produksi kopi. potensi sumber daya alam di negeri ini dimaksimalkan melalui berbagai upaya penunjang. Teramat sia-sia apabila 1,3 juta hekate lahan kopi di Indonesia tidak tergarap secara maksimal karena kurangnya suntikan dana.

Maka, sudah saatnya industri kopi negeri ini punya pengelolaan lebih professional agar produksinya ikut meningkat. Industri kopi kita perlu berbenah dari tingkat petani hingga tingkat yang lebih makro lagi.
Jalan Terang Industri Kopi Tanah Air 

Angin segar mulai ditujukan terhadap industri kopi tanah air. Kopi berhasil dilirik sebagai subsektor potensial di bidang kuliner. Deretan kedai kopi dalam negeri mulai berjejer menyaingi kehadiran waralaba kopi asing. Kehadiran kedai kopi itu berbanding lurus dengan produksi kopi tanah air. Dilansir dari detik.com, pertumbuhan kopi Indonesia berada di angka 8% di tahun 2018. Angka itu lebih tinggi dua kali lipat ketimbang Negara-negara produsen kopi lain.

Bagai efek domino, kehadiran kedai kopi nyatanya menggerakan seluruh sektor di industri kopi. Di level petani, permintaan yang tinggi dapat memicu peningkatan produksi kopinya. Kedai kopi yang tidak hanya ada di kota besar juga mendorong adanya perluasan pasar.

Momentum ini sudah tentu harus diawasi agar industri kopi terus berkesinambungan. Bisnis ini tidak boleh bernasib seperti bisnis-bisnis ‘latah’ yang kerap terjadi di Indonesia. sebaliknya, justru industri kopi harus semakin prospektif. 

Geliat bisnis kopi yang semakin meningkat membuat pemerintah Indonesia kini lebih serius dalam menggarap subsector di bidang kuliner ini. Melalui Badan Ekonomi Kreatif atau Bekraf, pemerintah akhirnya meluncurkan berbagai strategi agar industri kopi tanah air semakin ‘harum’.

Di hilir industri kopi, Bekraf upayakan adanya sertifikasi bagi profesi barista. Dikiutip dari lama resminya, sertifikasi itu dimaksudkan bekraf untuk tingkatkan daya saing sumber daya manusia.  Bukan hanya secarik kertas saja yang menjadi tujuan utama program ini. Bekraf inginkan masyarkat Indonesia berubah haluan, dari pengekspor biji kopi mentah menjadi pengekspor berbagai olahan kopi untuk peningkatan nilai ekspornya.

Industri kopi tanah air juga semakin harum bekrat kreativitas anak mudanya yang melakukan terobosan dalam berbisnis kopi. Munculnya start up kopi munculkan optomisme dalam industri ini. Bisnis yang dipadukan dengan teknologi atau technopreneur membuat bisnis kopi tanah semakin menunjukan tajinya.

Salah satu yang paling terlihat ialah start up kopi kenangan. Dikutip dari katadata.co.id, kopi kenangan telah mendapat suntikan dana dari perushaan modal ventura Alpha JWC Ventures pada 2018 senilai US$8 Juta atau Rp 114 Miliar.

Tidak hanya itu, Kopi Kenangan juga menggaet perusahaan Sequoia India yang mengelontorkan dana sebesar US$ 20 Juta atau Rp 284 Miliar untuk pengembangan usaha milik Edward Tirtanata ini. Terbaru, Kopi Kenangan bahkan mampu mendapatkan pendanaan Seri B senilai US$109 Juta atau Rp1,64 Triliun pada Mei 2020 ini.

Viral berkat nama bisnisnya yang receh, kopi kenangan tercatat mengalokasikan dana stimulus itu untuk membuka lebih banyak gerai. Hingga Juni 2019, kopi ini memiliki 80 gerai yang tersebar di delapan kota. Tidak main-main, setiap bulannya, sebanyak 1 juta gelas kopi berhasil terjual.

Menarik bagaimana petani kopi yang menjadi hulu industri ini ikut terdorong kesejahteraannya. Alih-alih mengagungkan kopi dari Negara asing, industri kopi tanah air saat ini bertumpu pada distribusi kopi local. Seperti kopi kenangan yang mengambil bahan baku dari Takengon di Aceh, Sidikalang Sumatera Utara, Flores. Petani kopi kini punya pasar yang lebih luas dalam mendistribusikan hasil panennya.

Sementara itu, sumbangsih industri kopi juga tidak dapat dipandang sebelah mata. menurut laporan okezone.com, nilai ekspor kopi Indonesia mencapai US$ 1,2 Miliar atau lebih dari Rp 16, 8 Triliun (mengacu pada kurs Rp.14.000) . tentu saja, angka ini dapat melonjak apabila Indonesia menggenjot produk olahan kopi untuk di ekspor, bukan lagi biji kopi mentah.

Tidak hanya bekraf yang harus menjadi tumpuan dalam menopang industri kopi. Secara keseluruhan, pemerintah juga harus berperan dalam mengahdirkan iklim investasi positif agar para investor tidak meninggalkan start up kopi yang tengah melaju kencang di tanah air.

Jika dianalogikan, industri kopi tanah air sudah seperti kendaraan yang mengantar Indonesia menuju kesejahteraan. industri ini tengah menancapkan gasnya dalam kecepatan tinggi. Dengan sumber daya alam melimpah sebagai bahan bakarnya, Indonesia kini sedang berpacu menjadi raja kopi dunia.

Perjalanan Indonesia semakin lancar berkat pelumas dari menjamurnya kedai kopi local yang menciptakan pasar baru industri kopi. Sudah seharusnya, pemerintah dapat menyingkirkan ‘krikil-krikil’ yang dapat menganggu kendaraan ini.

Dan, orang yang mengemudikan kendaraan ini tidak lain adalah anak-anak muda kreatif tanah air.