Apakah Petani Punya Masa Depan? Menghadapi Rendahnya Haga Jual di Sektor Pertanian.

Gambar Persawahan Indonesia (Sumber gambar: Pixabay)

Like

Peran Sektor Pertanian

Tahu kan, Indonesia terkenal akan bentang alam yang luar biasa beserta flora dan fauna yang beragam di dalamnya?

Senada dengan lagu karya Koes Plus berjudul Kolam Susu yang liriknya “Orang bilang tanah kita tanah Surga,” maka tidak heran sejak berabad-abad lalu pedagang dari tanah Gujarat, Arab, dan Cina bersliweran ke Nusantara. Tidak luput, pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa melakukan pelayaran jalur rempah hingga sampai di Pulau Banda dan menguasai perdagangannya.

Saat ini, berdasrkan data BPS periode 2020-2024 untuk sektor pertanian, kehutanan dan perikanan menyumbang Produk Domestik Bruto sebesar 12,98 persen, nomor dua terbesar setelah sektor manufaktur.

Namun apakah kekayaan alam Indonesia dan peran sektor pertanian dalam PDB sebanding dengan kesejahteraan petaninya?

Berdasarkan data Ombudsman, rata-rata pendapatan bersih petani skala kecil di Indonesia pada tahun 2021 yaitu 5,23 juta. Sedangkan NTP pada bulan April 2024 sebesar 116,79 dimana nilai tersebut menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan petani masih lebih besar dari pengeluarannya. Namun, banyak hal yang menjadi parameter kesejahteraan selain pendapatan dan nilai tukar petani, beberapa di antaranya adalah produksi, biaya produksi, dan harga jual.
 

Tantangan pada Sektor Pertanian 

Saat ini, sangat jarang generasi muda yang tertarik untuk berkarir di sektor pertanian.

Contoh nyata generasi muda yang memilih karir di bidang pertanian yaitu Iluh Pujiati. Iluh dalam media sosial Instagramnya @iluh_pu, sering mengunggah aktivitasnya sebagai petani muda. Nah, kendala yang kerap terjadi di lapangan berdasarkan pengalaman Iluh adalah rendahnya harga jual produk di tingkat petani karena penetapan harga yang tidak menentu.


Mungkinkah petani masih terjajah setelah hampir delapan dekade merdeka? Apakah pemerintah diam saja melihat permasalahan di lapangan?

 

Faktor yang Berpengaruh pada Harga Jual di Tingkat Petani

Harga jual yang berfluktuasi di tingkat petani disebabkan oleh banyak faktor di antaranya rantai pasok hingga subsidi pemerintah dan sistem pengelolaan pasca panen. Berikut penjabaran lebih lanjut mengenai faktor-faktor tersebut.
 

1. Panjangnya Rantai Pasok (Supply Chain)

Faktor yang mempengaruhi harga jual di tingkat petani diantaranya berkaitan dengan rantai pasok (supply chain) yang panjang dan keterbatasan akses pasar. Dalam sistem rantai pasok, petani berperan sebagai price taker yang tidak bisa menentukan harga jual produknya sendiri dikarenakan pengaruh permintaan dan penawaran.

Panjangnya rantai pasok dirasa kurang efisien serta menimbulkan perbedaan nilai tambah yang jomplang antara pelaku usaha. Biasanya nilai tambah di tingkat petani sangat kecil dibandingkan dengan di tingkat pedagang. Rantai distribusi yang baik seharusnya dapat memberikan nilai tambah yang adil bagi seluruh pelaku usaha terutama bagi petani yang menjadi produsen. Pemerintah seharusnya dapat berperan dalam pemotongan rantai pasok yang kurang efisien disertai intensifikasi serapan produk pertanian melalui bulog (Saptana et al., 2019).
 

2. Subsidi Pupuk

(Sumber: www.pupukkaltim.com)
 

Faktor lain yang mempengaruhi harga jual di tingkat petani adalah kebijakan subsidi oleh pemerintah. Salah satu subsidi yang diterapkan yaitu subsidi pupuk. Pupuk berperan dalam menjaga unsur hara tanah yang tentunya sangat dibutuhkan tanaman. Pemupukan dengan dosis dan waktu yang tepat, dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil panen.

Salah satu produsen pupuk urea terbesar Asia adalah PT Pupuk Kalimantan Timur (PKT) yang sudah beroperasi sejak tahun 1977 dengan bisnis utama yaitu memproduksi pupuk urea, amoniak dan pupuk NPK. Di bawah naungan PT Pupuk Indonesia (Persero), Pupuk Katim tidak hanya bergerak pada bidang produksi dan perdagangan, namun juga turut serta dalam program pemberdayaan masyarakat, pendidikan hingga beasiswa. selain itu Pupuk Kaltim juga rutin mengikuti ESG Risk Rating Assessment guna menjaga komitmen perusahaan menjadi perlopor transformasi hijau industri petrokimia.

Subsidi pupuk akan menekan biaya produksi. Biaya produksi yang rendah membuat petani memperoleh keuntungan dari segi finansial. Apabila pupuk yang digunakan tepat maka produktivitas hasil panen akan meningkat.
 

3. Sistem Resi Gudang (SRG)

Ada sisi lain dari peningkatan hasil produksi yang perlu menjadi perhatian, khususnya pada saat panen raya atau di saat penawaran meningkat namun permintaan pasar tetap. Akan menjadi percuma apabila biaya produksi bisa ditekan namun terdapat kelebihan penawaran (excess supply) yang tidak bisa diserap, sehingga menyebabkan anjloknya harga. Bukan untung yang didapat, namun petani malah merugi. Maka, diperlukan suatu sistem yang dapat menjaga kestabilan harga jual bagi petani.

Sistem Resi Gudang (Sumber: https://monitor.co.id)