Etika Tidak Tertulis Saat Mengolah Makanan - Bagian 1

Ilustrasi kuku panjang dan berwarna menggenggam makanan


"Makannya cuma beberapa menit, masaknya berjam-jam, memorinya seumur hidup."
Han Beom-Woo terkesima, makanan yang tersaji di depannya menariknya kembali ke memori saat mendiang neneknya memberi makanan dengan rasa yang sama dalam drama Korea bertajuk Tastefully Yours. 

Tokoh Anton Ego yang berperan sebagai Food Snob dalam film Ratatouille juga mengalami hal serupa. Dibawa bernostalgia dengan masa kecilnya lewat rasa makanan di depannya. 

Ya, ungkapan soal makanan mampu menyulap rasa jadi cinta dan kenangan, benar adanya. 

Tidak semua orang dianugerahi kemampuan dalam mengolah bahan pangan menjadi makanan. Pun kalau dipaksakan, setiap orang mungkin bisa menduplikasi, tapi tidak semua tangan bisa menyajikan rasa yang sama meski dengan resep dan SOP yang serupa.
 

Etika Tidak Tertulis Saat Mengolah Makanan

Mengolah makanan adalah proses panjang dalam 'menyulap' - a.k.a memasak - bahan pangan menjadi makanan siap saji yang aman, nyaman dan bernutrisi dengan bentuk, tekstur, warna dan rasa yang diinginkan. 

Bicara soal memasak, saya jadi teringat dengan kenangan saat duduk di bangku kuliah prodi Teknologi Pangan, terutama saat berada di laboratorium pengolahan. 


Bagi kami, tempat tersebut sangat sakral: Pilihannya antara estetika diri dengan higenitas pangan yang akan diolah. Salah satunya adalah, tidak ada kuku panjang yang diizinkan 'beroperasi' di laboratorium ini. 

Sepintas Be-emers mungkin akan berpikir, tidak ada korelasi antara kuku panjang dengan memasak, padahal, jika dikulik lebih dalam, urusannya bisa berkepanjangan.