Pro Kontra Pilkada 2020 di Masa Pandemi

Bagaimana kelanjutan pro kontra pilkada 2020 di masa pandemi?

Like

Banyak terjadi polemik dari berbagai pihak tentang penyelenggaraan pilkada yang direncanakan serentak pada tanggal 9 Desember 2020. Pasalnya pandemi Covid-19 belum mereda sepenuhnya.

Sebagian pihak, menilai jika pilkada serentak dilaksanakan akan menimbulkan potensi penularan virus yang lebih kuat ditengah masyarakat, Untuk itu, sebagian pihak ini menyarankan untuk penundaan pilkada hingga kondisi pandemi mulai mereda.

Namun, ada pihak lain juga yang tetap kukuh untuk tetap menyelenggarakan pilkada di tengah pandemi. Mereka mengatakan bahwa pilkada harus dilaksanakan untuk mendapatkan pemimpin daerah yang potensial untuk menangani pandemi secara maksimal agar cepat terselesaikan.

Inilah yang menimbulkan pro kontra Pilkada ditengah masyarakat. Antara melindungi kesehatan masyarakat akibat Covid-19 yang belum juga mereda. Atau tetap menjaga keberlangsungan demokrasi.

Menunda pilkada bisa menimbulkan konflik politik yang kontraproduktif dalam situasi penanganan Covid-19. Mengingat dalam sistem presidensial, termasuk pada pemerintahan local secara konstitusi jabatan kepala daerah berlaku prinsip fix term alias telah ditetapkan masa jabatannya.


Maka akan menimbulkan potensi masalah politik serta hukumnya jika pilkda serentak tidak digelar sesuai UU atau Perpu. Bila pilkada ditunda maka jabatan kepala daerah diperpanjang oleh pemerintah, maka oposisi atau penantang pertahanan akan menggugat karena hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri jadi terhambat.

Sehingga ketidakpastian hukum akan terjadi. Dan dapat mengebiri demokrasi. Pemerintah yang tetap mengusulkan agar pilkada dilaksanakan serentak mengatakan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan yang lebih ketat.

BNPB sebagai lembaga yang memiliki kewenangan penanganan pandemi Covid-19 telah memberikan surat jawaban bahwa tahapan pilkada dapat dilanjutkan dengan memenuhi protokol kesehatan. Dari 294 daerah yang melaksanakan pilkada 2020, tidak semua rawan Covid-19.

Hanya 15 persen yang menerapkan PSBB dan 16 kabupaten atau kota yang memiliki kasus Covid-19 lebih dari 100 kasus. Cukup realistis apabila peilkada tetap dilaksanakan ditengah pandemic ini, saat pemerintah juga berupaya membuka kembali aktivitas sosial dan ekonomi.

Era new normal dijadikan pilihan ekfetivitas penyelenggaraan pilkada, meskipun tidak ada satu pun ilmuwan, peneliti, maupun lembaga yang dapat memastikan kapan pandemi ini berakhir. Tidak sedikit juga pihak yang tetap ingin menunda.

Misalnya, pihak Muhammadiyah dan NU serta pihak lain dengan beralasan kemanusiaan. Mereka berpendapat bahwa melindungi kelangsungan hidup dengan protokol kesehatan sama pentingnya dengan menjaga kelangsungan ekonomi masyarakat.

Setiap keputusan yang diambil pasti akan menghasilkan pro kontra yang tidak dapat dielakkan. Untuk itu, keputusan apapun yang diambil semoga bisa memberikan jawaban terbaik dari kebingungan yang terjadi. Selain itu, tidak menguntungkan satu pihak saja, melainkan membawa kebermanfaatan untuk sesama.