PPN Naik, Begini Sejarah dan Dampaknya

PPN Naik Illustration Bisnis Muda - Canva

Like

Menteri keuangan Sri Mulyani berencana menaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) untuk meningkatkan penerimaan pajak tahun depan. Dilansir dari Bisnis, Wakil Ketua Komisi Keuangan DPR Fathan Subchi mengatakan bahwa kemungkinan besar draf RUU KUP akan baru diterima legislatif setelah lebaran.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP).

PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung. Tarif PPN yang berlaku saat ini adalah sebesar 10 persen.

Usulan kenaikan PPN dilakukan guna menjaga APBN tetap sehat. Pimpinan Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memahami kondisi Indonesia saat ini sedang sulit di tengah pandemi Covid-19. Namun usulan kenaikan PPN dilakukan guna menjaga APBN tetap sehat.

Baca Juga: Bitcoin Bakal Kena Pajak? Kamu Siap Nggak?
 

Sejarah Kebijakan PPN di Indonesia

Sebelum adanya PPN, pemerintah secara resmi mengadakan pemungutan Pajak Pembangunan I (PPb I) pada 1 Juli 1947. Pajak ini dikenakan atas usaha rumah makan, penginapan dan penyerahan jasa di rumah makan sebesar 10 persen dari jumlah pembayaran.


Pada tahun 1950, Pengenaan Pajak Peredaran berdasarkan atas penyerahan barang dan jasa yang dilakukan di Indonesia. Pemungutan pajaknya dilakukan secara berjenjang pada setiap mata rantai jalur produksi dan jalur distribusi.

Pajak Peredaran berlaku sejak 1 Oktober 1951 sebesar 2,5 persen. Namun, pemungutan pajak peredaran ini tidak berlangsung lama dan tergantikan dengan pajak penjualan.

Selanjutnya, Pajak Penjualan yang menggantikan Pajak peredaran diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1953 Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1951 tentang Pemungutan Pajak Penjualan.

UU PPn ini telah banyak mengalami perubahan perluasan terkait dengan subjek pajak, objek pajak, serta tarifnya. Mulanya, yang menjadi subjek pajak hanyalah pabrikan. Namun, setelah 1 Januari 1960 diperluas termasuk juga pengusaha jasa.

Demikian juga dengan tarif pajaknya juga mengalami perubahan. Awalnya, menggunakan tarif umum 10 persen berubah menjadi 20 persen. Selain itu, tarif khusus terhadap barang-barang mewah yang awalnya 20 persen berubah menjadi 50 persen.

Pajak Penjualan 1951 akhirnya direformasi dengan munculnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Undang-Undang yang mengatur tentang PPN dan PPnBM tersebut akhirnya disahkan pada 1 April 1985.

Sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 ditetapkan, hingga saat ini sudah ada tiga kali perubahan UU PPN di Indonesia:
  1. Perubahan pertama dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1994 (UU PPN Nomor 11 Tahun 1994), mulai berlaku pada 1 Januari 1995;
  2. Perubahan kedua dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 (UU PPN Nomor 18 Tahun 2000), mulai berlaku pada 1 Januari 2001; dan
  3. Perubahan yang ketiga dilakukan dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN Nomor 42 Tahun 2009), mulai berlaku pada 1 April 2010.

Dalam konsiderans “Menimbang” UU Nomor 42 Tahun 2009 mencantumkan dasar pertimbangan perubahan ketiga UU PPN antara lain adalah lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dan mengamankan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri.

 

PPN Naik Illustration Bisnis Muda - Canva

 

Apa dampaknya jika tarif PPN naik di tengah kondisi perekonomian yang masih belum pulih?

Jika wacana tersebut diterapkan maka tentu saja harga akan naik dan daya beli masyarakat yang sedang rendah semakin menurun. Dilansir dari Kontan.co.id, inflasi Indonesia bisa meroket hingga 4 persen.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, konsekuensi apabila peningkatan tarif PPN berlangsung maka ada potensi kenaikan inflasi ke kisaran 3-4 persen yang disebabkan oleh cost-push-inflation. 

Artinya kenaikan inflasi terjadi akibat kenaikan tarif PPN yang tidak diiringi oleh peningkatan permintaan. Kenaikan inflasi ini juga akan cenderung membatasi daya beli masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga juga melambat. Hal tersebut pada akhirnya berpotensi membatasi laju pertumbuhan ekonomi tahun 2022 mendatang.

Kalau permintaan masyarakat menurun karena kenaikan harga, tentu saja, pihak yang bakal paling kerasa terkena dampaknya adalah industri ritel Indonesia. 

Masih dilansir dari sumber yang sama, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Nicholas Mandey mengatakan rencana tersebut akan makin menekan industri manufaktur termasuk ritel.

Menurutnya, kenaikan tarif PPN akan membuat harga jual lebih mahal, sehingga berdampak pada daya beli masyarakat yang melemah. Terlebih, barang-barang di sektor ritel banyak dikonsumsi oleh masyarakat seperti makanan dan minuman hingga pakaian.

Sekalipun kebijakan itu diterapkan di 2022, Roy bilang kondisi ekonomi masih berat. Sebab, dari baseline indikator ekonomi hingga sekarang masih mengindikasikan pelemahan daya beli.

Roy justru menyarankan seharusnya pemerintah memberikan subsidi PPN untuk sebelas kebutuhan pokok masyarakat. Setidaknya, dengan subsidi PPN sebesar 50 persen, Roy yakin akan meningkatkan konsumsi dan justru menambah penerimaan negara karena pertumbuhan penjualan barang. 

Menurut kalian gimana nih soal kenaikan PPN ini?