Usaha “Hand Made” Selangkah Lebih Maju Berkat Pandemi

Usaha aplikasi rajutan hand made (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Like

Awal tahun 2020 ini saya sudah berencana kembali bekerja. Kala itu rencana saya adalah ikut seleksi CPNS dan  melamar pekerjaan di perusahaan swasta. Bulan ketiga atau Maret saat saya mengirimkan aplikasi lamaran kerja pertama usai dorman yang lama karena memprioritaskan mengasuh anak terlebih dahulu, bulan itu juga Corona pertama dikonfirmasi positif di Indonesia.

Jangka waktu penerimaan berkas lamaran di perusahaan yang saya tuju adalah satu bulan, artinya akhir April baru ditutup. Awalnya, saya tak mengira jika Covid-19 bakal berdampak signifikan. Walaupun Indonesia tidak mengambil opsi lockdown tapi beberapa perusahaan mulai menerapkan Work From Home (WFH) dan kota-kota pun mulai memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Kota Bandung, perusahaan tempat saya ingin bekerja berada pun mulai PSBB pertama, 22 April 2020.

Tak lama sesudahnya, saudara saya yang kebetulan bekerja di kawasan industri di Kabupaten Bandung memberi kabar, jika dirinya bakal “dirumahkan”. Tetangga saya yang sudah puluhan tahun bekerja di pabrik tekstil di Kabupaten Bandung juga “diliburkan”. Saat itu juga saya membuang jauh-jauh harapan untuk bisa bekerja kantoran. Dengan kondisi negara dalam ketidakpastian, saya pun sudah yakin tahun 2020 tidak akan ada seleksi CPNS.


Bangkit dari Pandemi

Pandemi Corona rasanya membuat saya frustasi karena resolusi finansial terancam gagal total. Namun, dengan berpikir positif saya memilih bangkit. Berkaca dari situasi di atas, saya mencoba memilih opsi merajut kreativitas untuk bisa menjadi perempuan berdaya.

Saya kembali melirik hobi merajut yang sekian lama mandeg. Rajut yang identik dengan nenek-nenek pernah menjadi penghasilan sampingan saya saat masih berstatus karyawan tapi belum saya geluti dengan maksimal. Waktu itu saya pun sempat beberapa kali ikut pameran komunitas. Pandemi ini membuat saya memiliki waktu dan mengerahkan tenaga yang lebih banyak serta fokus untuk memulai usaha hand made ini.

Karena keterbatasan modal, langkah pertama saya adalah mencari partner. Saya pun mengontak kenalan saat pameran dulu. Senangnya, ketika gayung bersambut. Tanpa banyak kendala dan dengan prinsip saling percaya, ia mempercayakan produk hand made-nya untuk saya jual kembali. Dari setiap produk yang terjual saya mendapatkan sekian persen. Komisi yang sangat berharga untuk menambah modal usaha hand made saya sendiri.


Bulan Juni, saya pun membuka toko online di salahsatu e-commerce di Indonesia. Hal yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya. Walaupun sebagai permulaan belum menjual produk sendiri.

Kendala usaha hand made yang kemudian saya temui adalah pengerjaan yang butuh waktu lama. Saya pun kembali mencari rekan. Kali ini, saya mencoba menghubungi teman saat kuliah. Walaupun belum mahir merajut, ia bersedia merajut untuk usaha aplikasi rajutan, aksesoris, maupun pernah-pernik  yang ingin saya kembangkan.

Dengan mengandalkan jaringan, begitulah cara saya menyiasati keterbatasan modal dan waktu.


Karena saya tak ingin hanya iseng dan mengisi waktu selama pandemi, saya mulai membuat ala-ala business plan untuk usaha ini. Berikut di antara target yang saya tetapkan:


Lulus Enam Bulan Pertama

Kenapa lulus enam bulan pertama? Dari beberapa informasi yang saya baca, itu adalah waktu minimal untuk bisa mendaftarkan diri menjadi UMKM binaan. Di enam bulan pertama ini target saya bukan hanya bisa menghasilkan dan menjual produk tapi juga melakukan pembukuan dan pencatatan keuangan secara rapi. Hal-hal administratif yang tampak sepele tersebut akan sangat membantu saat mendaftarkan usaha, pendampingan, hingga mencari tambahan modal.


UMKM Binaan

Target berikutnya sesudah lulus semester pertama adalah terdaftar menjadi UMKM binaan. Kenapa saya ingin menjadi UMKM binaan? Karena UMKM yang menjadi binaan baik BUMN, swasta, maupun pemerintah daerah akan mendapat pendampingan, pelatihan, akses modal, dan jaringan pemasaran yang lebih luas. Melalui UMKM binaan saya berharap mendapatkan mentor yang dapat membimbing usaha saya lebih maju, tidak pantang menyerah, dan kiat lainnya. UMKM pun bisa naik kelas seperti yang kerap diharapkan pemerintah.


Go Digital

Mengacu laman Bisnis.com, pemerintah menargetkan 10 juta UMKM Go Digital pada tahun 2020. Saat ini tercatat 64 juta populasi UMKM di Indonesia namun baru sekitar 13 persen terhubung pada ekosistem digital. Akhir tahun ini atau awal tahun depan, saya berharap usaha hand made saya sudah terdaftar secara resmi dan terhubung go digital.


Brand Terdaftar

Sejak memutuskan memulai usaha, saya sudah memikirkan nama brand yang ingin saya gunakan. Seiring berjalannya waktu, saya ingin mendaftarkan nama brand yang saya pakai. Karena, saya menghormati dan menghargai setiap inovasi dan kreativitas merupakan bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI) yang harus dilindungi. Selain itu, dengan merk yang telah terdaftar akan meningkatkan nilai jual produk dan kredibilitas. Sebagai pemiliki brand pun terpacu untuk selalu memberikan yang terbaik.

Pandemi pada akhirnya bagi saya berbuah kreativitas dan telah memberi keberanian untuk melangkah lebih maju dan terjun di bidang enterprenuer. Ibarat lari marathon, ini adalah langkah pertama saya. Masih ada puluhan kilometer terbentang untuk mencapai finish. Saya pun sepenuhnya sadar, begitu sampai di garis akhir, ada perlombaan lain yang menunggu.

Mari berani memulai…