Pahlawan Nasional Kebanggaanku di Momen 17 Agustus: R.A. Kartini dan Mgr. Albertus Soegijapranata

Momen 17 Agustus menjadi waktu yang paling tepat untuk mengenang jasa pahlawan (Foto. Wikemedia Commons)

Like

Indonesia memiliki banyak pahlawan nasional yang patut dibanggakan, namun R.A. Kartini dan Mgr. Albertus Soegijapranata adalah dua tokoh yang sangat istimewa bagi saya.

Mereka berdua memberikan kontribusi besar dalam perjuangan bangsa, meski dengan cara yang berbeda.

R.A. Kartini lahir pada 21 April 1879 di Jepara, Jawa Tengah, dalam keluarga bangsawan. Kartini adalah anak keempat dari 11 bersaudara dari pasangan Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan M.A. Ngasirah.

Sejak kecil, Kartini menunjukkan kecerdasannya dalam belajar, meski pada zamannya perempuan tidak banyak mendapatkan kesempatan pendidikan. Ia bersekolah di ELS (Europese Lagere School), sebuah sekolah Belanda yang memberikan pendidikan dasar.


RA Kartini dan Emansipasi Wanita

Jasa terbesar Kartini adalah dalam memajukan emansipasi wanita Indonesia. Melalui surat-suratnya yang terkenal dalam buku "Habis Gelap Terbitlah Terang,"

Kartini mengungkapkan keinginannya untuk perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan dan hak yang setara dengan laki-laki.


Perjuangannya melawan tradisi yang membatasi peran wanita di masyarakat menunjukkan keberanian dan visi jauh ke depan.

Baca Juga: Kisah Supriyadi, Pahlawan Nasional yang Menghilang dan Menjadi Misteri Sejarah Indonesia


Soegijapranata Bagaimana Perannya?

Mgr. Albertus Soegijapranata adalah tokoh pahlawan lain yang tidak kalah penting. Lahir pada 25 November 1896 di Yogyakarta, Soegijapranata adalah putra pasangan Kanjeng Raden Adipati Sosrodiningrat dan Raden Ayu Siti Mardiyah.

Dalam perjalanan hidupnya, ia menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi di Belanda dan kemudian menjadi uskup pertama yang berasal dari pribumi Indonesia pada tahun 1940.

Selama masa penjajahan Jepang dan awal kemerdekaan Indonesia, Mgr. Soegijapranata dikenal sebagai tokoh yang aktif dalam perjuangan kemerdekaan.

Ia tidak hanya berperan sebagai pemimpin gereja tetapi juga sebagai mediator antara pihak Jepang dan pejuang kemerdekaan Indonesia.