Melestarikan Lingkungan dari Budaya Lokal (Sumber gambar: Pexels.com)
Like
Negara kita Indonesia telah mendapatkan bebagai predikat luar biasa pada tingkat internasional. Salah satu yang patut kita banggakan adalah predikat pemilik biodiversitas terbesar kedua di dunia dan pemilik hujan tropis ketiga terbesar di dunia.
Dua predikat tersebut menunjukkan keanekaragaman hayati yang sangat besar di negara kita. Selain dua tersebut kita juga memiliki jumlah suku yang sangat banyak sehingga pedoman bhinneka tunggal ika sangat sesuai
Dengan predikat luar biasa yang kita sandang, kita membawa dampak besar bagai kelestarian makhluk hidup di bumi ini.
Bayangkan apabila kita sebagai rakyat Indonesia abai dengan keanekaragaman hayati yang ada dan berfokus pada eksploitasi alam.
Mungkin banyak sekali spesies makhluk hidup yang punah dan tidak bisa dilihat lagi oleh dunia. Kita tentu tidak ingin lingkungan kita semakin rusak lagi. Tentu kita menginginkan anak cucu kita nanti hidup di lingkungan yang indah dan asri, lingkungan yang juga menjadi habitat dari berbagai flora dan fauna.
Apalagi saat ini dengan kondisi lingkungan negara kita, kita telah menjadi salah satu garda depan dalam penjagaan lingkungan.
Sebelum hal buruk tersebut terjadi mari kita sedikit melihat ke belakang dan samping kita. Leluhur kita sebenarnya telah mewariskan ilmu yang luar biasa tentang menjaga lingkungan dan alam.
Bahkan, pendekatan yang dilakukan dapat sangat beragam karena beragamnya suku dan budaya yang ada di negara kita.
Pendekatan-pendekatan tersebut juga menyesuaikan kondisi geografis Indonesia yang beragam dari hutan, pesisir dan pulau, bahkan gunung berapi aktif.
Tradisi Leluhur dalam Melestarikan Lingkungan Hidup
Mari kita bahas sedikit tentang tradisi-tradisi yang telah dikembangkan oleh budaya kita sendiri dalam melestarikan lingkungan.1. Pelestarian Hutan Khas Baduy Dalam
Berbicara tentang melestarikan lingkungan dan keanekaragaman di dalamnya tentu tidak bisa melupakan Suku Baduy Dalam. Suku Baduy sejatinya terdapat dua yaitu Suku Baduy Luar dan Suku Baduy Dalam. Perbedaan antara keduanya adalah penerimaan terhadap budaya luar.Suku Baduy Luar dikenal lebih bisa menerima pengaruh dari luar termasuk penggunaan teknologi, dsb. Sedangkan, Suku Baduy Dalam lebih sedikit menerima pengaruh dari luar, mereka lebih berfokus pada cara hidup sebagaimana yang telah dijalankan dari leluhurnya.
Secara kasar mata kita dapat membedakan Suku Baduy Dalam dan Suku Baduy Luar dari warna pakaian yang digunakan. Suku Baduy Luar cenderung menggunakan atasan dan bawahan hitam.
Dalam tradisi Suku Baduy khususnya Baduy Dalam terdapat perbedaan kategori hutan yang bisa digunakan yaitu Leuweung Titipan (bagian hutan yang tidak diperbolehkan untuk digunakan oleh manusia), Leuweung Tutupan (bagian hutan yang bisa digunakan dengan aturan ketat), serta Leuweung Garapan (bagian hutan yang digunakan untuk pertanian).
Klasifikasi tersebut menjadikan terdapat bagian hutan yang masih asli dan terjaga. Pengelolaan hutan yang demikian menunjukkan betapa hutan dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting bagi masyarakat Baduy Dalam.
Selain pengelolaan dan pelestarian hutan, masyarakat Baduy Dalam juga dikenal dengan gaya hidupnya yang berkelanjutan.
Hal tersebut tercermin dalam sistem sosial dan sistem ekonomi yang dianut. Sistem sosial dan ekonomi Baduy Dalam berfokus pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat sepreti pangan, sandang, dan papan. Dan ketiganya dipenuhi secara berkeseimbangan dan tidak berlebihan.
Baca Juga: Isu Bagi-Bagi Kue ke Ormas Soal WIUPK, Ini Kata Menteri LHK!
2. Pelestarian Laut oleh Suku Bajo
Suku Bajo merupakan salah satu dari Indonesia dengan kekuatan renang dan selam terbaik di dunia. Bahkan, terdapat suatu riset yang mengatakan bahwa paru-paru Suku Bajo mengalami peningkatan volume sebagai wujud adaptasi tubuhnya terhadap kondisi lingkungan selama beratur-ratus tahun.Keseharian Suku Bajo yang dekat dengan laut menjadikan Suku Bajo memiliki keterikatan batin dan hubungan yang spesial dengan laut. Adat dan budaya Suku Bajo juga banyak yang bersinggungan dengan laut terutama pengelolaan laut secara bijak.
Dalam adat Suku Bajo terdapat sebutan Parika yang merupakan lembaga pengatur tentang pengelolaan laut. Pengelolaan laut dalam hal ini adalah menentukan kapan waktu yang baik untuk melaut, lokasi mana yang diperbolehkan untuk ditangkap ikannya, dan sebagainya, Selain Parika terdapat juga istilah laut keramat yang merupakan tempat sakral bagi Suku Bajo untuk berlaut.
Dengan adanya sistem parika dan pengkeramatan pada laut tertentu serta tradisi lain yang mengiringinya menjadikan laut di wilayah Suku Bajo tetap terjaga kualitasnya. Kualitas yang terjaga tentu akan berdampak pada keanekaragaman hayati yang terlestarikan.
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.