Antara Petani Modal dan Kapitalis

Petani Melon Premium (Sumber : Bisnis.com)

Petani Melon Premium (Sumber : Bisnis.com)

Like

Sejak SD saya telah melihat beberapa petak sawah kami ditanami buah melon, semangka, jagung dan lombok.  Namun tidak setiap tahun, keempat komoditas itu ditanam. Sebab, mayoritas petani di desaku adalah petani padi. Mereka ini hampir tidak pernah beralih kepada komoditas lain. Semisal Bapak yang hanya sesekali berani menanam jagung. Itupun karena terpaksa yaitu dengan pertimbangan lahan tidak mungkin ditanami padi untuk beberapa bulan ke depan. Pilihan menanam jagung itu hanya untuk merawat produktivitas kerja. Sebab, menanam padi jauh lebih menguntungkan. 

Saya yakin tentu petani jagung tidak setuju. Namun itulah faktanya. Jika lebih menguntungkan pasti banyak petani padi yang mulai beralih menanam jagung. Keberanian menanam jagung itu juga ditambah pertimbangan, biaya modal yang relatif lebih murah. Tanaman yang membutuhkan modal berlipat, seperti lombok dan melon, Bapak dan teman-teman harus berfikir berkali-kali. 

Selain membutuhkan modal yang besar, tingginya tingkat spekulasi juga mempengaruhi keputusan para petani padi. Walaupun skils (keterampilan) bercocok tanam melon dan lombok, telah dipelajari para petani padi di desaku selama puluhan tahun.  Mereka melihat langsung  proses bertanam melon dari pengolahan tanah, pembibitan, pemupukan hingga panen. Bahkan mereka sesekali berkenalan secara langsung dengan para tengkulak yang memanen buah melon tersebut. Dari sisi keahlian, para petani padi ini mampu untuk menanam melon, ataupun lombok. 

Anggap saja para petani padi ini adalah pengusaha kecil. Sedangkan petani melon dan lombok (cabai) ini adalah pengusaha menengah.

Untuk naik kelas, para pengusaha kecil ini membutuhkan akses modal. Sebab, untuk luas lahan yang sama, dibutuhkan modal yang berlipat-lipat.


Jika padi gagal panen, mereka tahu caranya bangkit. Jika melon gagal panen, mereka tidak tahu caranya untuk bangkit kembali. 

Padahal, mungkin salah satu cara paling potensial untuk mengubah nasib petani padi ini dengan disertifikasi tanaman. Jika panen dan harga sama-sama bagus, mungkin keuntungan menanam melon cukup untuk membeli minibus baru. Memang, jika gagal panen dan harga turun, kerugiannya bisa membuat petani shock berbulan-bulan. 

Jauh berbeda dengan padi sedang dengan harga bagus, paling hanya cukup ditabung untuk keperluan hari raya, membayar uang sekolah, dan mungkin simpanan iuran kurban. Selama ini, saya tidak pernah mendengar petani padi yang berbagi cerita membeli sebuah mini bus dari hasil panennya. Yang ada, mini bus tersebut dibeli dengan menjual sawah karena gaya hidup hedonis anak-anak para petani padi tersebut. 

Lalu, siapakah petani melon itu? Mereka 'orang jauh' yang berani menyewa lahan di persawahan kami.

Hampir tiap tahun, ada yang menanam melon di persawahan kami, walaupun berganti-ganti penyewa. Petani melon yang datang dan pergi itu lah yang membuat para petani padi ragu.

Ada anggapan bahwa mereka pergi karena merugi besar dan kapok. Kemudian, datang 'spekulan' lainnya menanam bibit melon dengan jenis yang berbeda. 

Berbeda dengan petani lombok, dia tidak datang dan pergi, karena dia bukan orang jauh. Namun, anak salah seorang petani senior di desa kami yang ingin mengaplikasikan ilmunya sebagai insyiyur pertanian.

Dia konsisten menanam lombok. Namun, karena keberuntungannya biasa-biasa saja, para petani ragu-ragu untuk mengikuti jejaknya. Walaupun, para petani pernah menyaksikan petani cabai itu benar-benar mengalami panen raya.

Sang Insinyur mendapatkan untung yang sangat besar karena harga cabai pernah meningkat hingga lebh dari 3 kali lipat. Namun, mereka lebih sering melihatnya jatuh bangun berkali-kali. 

Di sini lah pentingnya pemerintah masuk menyediakan pemodalan bagi para petani. Pemerintah juga harus menyediakan sebuah skema penjaminan bagi petani saat mereka gagal panen. Terutama kepada para petani baru, skema penjaminan yang memungkinkan para petani bangkit kembali. 

Tanpa insentif permodalan dan pendampingan, petani akan bersifat pasif dengan berbagai jenis tanaman baru. Perkembangan petani dan pertanian akan selalu tertinggal dengan sektor lainnya.

Tentu bukan salah petani. Sebab, modal untuk menanam melon seluas 1 ha  dapat mecapai 100 juta rupiah. Tanpa suntikan modal, program kemitraan dan penjaminan usaha, petani tidak mungkin berani berspekulasi terlalu dalam. 

Selain melon dan lombok, lahan pertanian kami juga pernah ditanami tebu, tembakau, dan bawang. Hampir setiap tahun, tebu ditanam. Sedangkan tembakau, aku telah puluhan tahun tidak melihatnya.

Nah, ada yang unik dari kisah petani bawang. Setelah belajar menjadi petani bawang, kemudian dia memilih menjadi tengkulak bawang. Dia berhenti sebagai petani.

Saya tidak tahu, apakah dia sukses bertani atau tidak. Yang jelas, dia lebih sukses menjadi tengkulak. Dia kaya, namun sebagai tengkulak bukan petani. 

Mungkin, menjadi tengkulak padi jadi pilihan yang tepat bagi petani di sini. Bapakku misalnya, sangat ahli memprediksi perolehan hasil panen padi. Pilihan naik kelas untuk benar-benar menjadi pengusaha.

Namun, sekali lagi, Bapak dan petani padi lainnya membutuhkan akses modal dan pendampingan. Bukan saja soal keberanian, namun ada pengetahuan berwirausaha yang tidak mereka ketahui. 

Belum lama ini, Bapak geleng-geleng kepala melihat melon yang ditanam di desa sebelah. Melon itu ditanam sangat rapi sekali. Seluruh lahan melon dibungkus oleh plastik.

Jadilah sebuah rumah plastik raksasa yang menahan sinar matahari. Mungkin itu melon jenis baru dan premium.

Setelah berbincang-bincang dengan seorang praktisi bibit tanaman, Bapak berkata, "Untuk 1 ha saja, modalnya bisa menghabiskan rumahku, rumahmu, dan kakak-kakakmu". Saya tidak tahu, apakah Bapak bercanda atau tidak. Seandainya ungkapan Bapak itu hiperbolik, pernyataan itu menunjukkan angka yang tidak masuk baginya. 

Bapak kemudian memiliki analisa sendiri. Dia yakin, petani melon itu bukan petani. Mungkin yang menggarap petani. Namun, pemiliknya bukan. Lalu siapa?

Mungkin, pengusaha kelas menengah yang turun gunung. Atau bahkan pengusaha kelas atas di daerah. Seperti tahun lalu, saat harga ayam turun karena para 'pengusaha besar' turun gunung berebut renyahnya harga ayam. 

Kata Bapak, jika begini, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Pertanian tidak boleh dikuasai kapitalis. Petani harus dilindung dan difasilitasi.

Jangan-jangan, suatu hari nanti, petani itu hanya buruh para pengusaha besar. Kita menjadi lebih kapialis dari negara-negara kapitalis.