Merajut Cerita Kehidupan dari Sebatang Cangkul: Perjuangan Kedaulatan Pangan yang Tak Kunjung Usai

Ilustrasi kehidupan pertanian (Foto Freepik.com)

Ilustrasi kehidupan pertanian (Foto Freepik.com)

Like

Kalau ada satu hal yang paling sering dilupakan, tapi paling sering dicari di negeri ini, jawabannya bukan mantan.

Tapi petani. Iya, petani. Profesi yang namanya mendadak naik daun tiap musim kampanye, lalu mendadak lenyap begitu euforia pemilu reda. Padahal, tanpa mereka, nasi di piring kita tinggal angan-angan.

Dari tangan-tangan kasar merekalah, hidup bisa terus berjalan. Dari peluh mereka yang mengalir di sela-sela lumpur, kita bisa upload story makan siang sambil bilang, “Alhamdulillah, kenyang.”

Tapi sayangnya, perjuangan petani Indonesia untuk mewujudkan kedaulatan pangan ini terasa kayak sinetron yang nggak kelar-kelar. Episodenya banyak, plot twist-nya berlebihan, dan ending-nya yah, kita tahu sendiri, nggak semua penonton puas.

Mari kita tengok, dari pinggiran kampung yang tanahnya mulai retak, cerita kehidupan ini dirajut satu cangkul demi satu harapan.
 

Negeri Agraris, tapi Nasi Tetap dari Luar?

Indonesia ini lucu. Di setiap pidato, kita suka menyebut diri sebagai negara agraris. Tapi di setiap rapat, daftar impor kita panjangnya bisa bikin malas buka spreadsheet. Ibarat ngaku cinta alam tapi hobinya belanja skincare impor.


Coba pikirkan, negara yang katanya subur makmur loh jinawi ini, masih rutin impor jutaan ton beras setiap tahunnya.

Tiap kali itu terjadi, yang muncul di media bukan solusi, tapi kalimat datar dari pejabat: “Ini demi stabilitas harga.” Stabil dari hongkong? Yang stabil cuma PHP soal swasembada yang diulang terus kayak kaset rusak.

Baca Juga: 9 Rekomendasi Bisnis Sampingan dari Sektor Pertanian

Sementara itu, di desa-desa yang sinyalnya kalah kuat dibanding sinyal-sinyal pencitraan, Pak Sarno dan Bu Tini tetap bertahan. Mereka menanam padi dengan cara lama, mengandalkan musim, menunggu hujan, dan bersaing rebutan pupuk subsidi.

Bahkan pupuk yang semestinya jadi penyelamat macam produksi Pupuk Kaltim kadang nggak sampai ke tangan mereka. Entah nyangkut di mana, entah siapa yang nahan. Yang jelas, sawah tetap harus digarap, meski pupuk tinggal harapan.
 

Ketika Cangkul Harus Melawan Konglomerasi

Hari ini, petani kecil tak ubahnya pejuang sunyi. Mereka berhadapan dengan korporasi besar yang main di segala lini: lahan, pupuk, benih, sampai distribusi hasil panen.

Lahan mereka menyempit, tapi harga traktor malah naik. Cangkul pun akhirnya jadi simbol perlawanan. Antik, tapi setia.

Di sisi lain, anak-anak muda mulai menjauh. Jadi petani? Duh, kalah keren sama jadi barista. Yang lebih sering muncul di media sosial adalah ladang-ladang estetik buat konten, bukan ladang-ladang yang ditanami buat makan. Yang viral adalah pertanian gaya hidup, bukan pertanian buat hidup.

Dan jangan lupakan godaan: tiap bulan datang brosur dari developer perumahan. “Bapak bisa DP motor kalau jual sawah ini.” Pelan tapi pasti, sawah jadi kaveling. Petani jadi supir ojek online.