Menimbang Efektivitas Subsidi Pupuk bagi Petani

Subsidi pupuk diniatkan untuk meringankan biaya variabel usaha petani miskin sehingga dapat menekan harga. Tapi apakah subsidi ini merupakan keputusan paling tepat?

Subsidi pupuk diniatkan untuk meringankan biaya variabel usaha petani miskin sehingga dapat menekan harga. Tapi apakah subsidi ini merupakan keputusan paling tepat?

Like

Pagi itu Desa Waruk, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, dihebohkan dengan kejadian pencurian di salah satu rumah warga. Sang pencuri babak belur karena dipukuli oleh warga setempat. Saat ditanya wartawan, sang pencuri mengaku telah mencuri pupuk di salah satu rumah warga. Dikutip dari beritajatim.com, rencananya ia akan menjual kembali pupuk tersebut ke penadah. Di tempat lain, ada juga cerita tentang aksi penjarahan truk pengangkut pupuk yang melitas di jalan trans Sumbawa-Bima. Kepala kantor pemasaran PT Pupuk Kalimantan Timur menjelaskan, dikutip dari antaranews.com, bahwa kegeraman masyarakat disebabkan prosedur yang mereka anggap rumit dalam mengakses pupuk di lapangan.

Kutipan kabar di atas adalah segelintir dari segudang kasus yang timbul di masyarakat terkait dengan akses pupuk yang bermasalah. Para warga yang marah tersebut tidak lain merupakan para petani yang menggunakan pupuk sebagai input bagi lahan pertanian mereka. Melihat kasus di atas menunjukkan ketegangan yang timbul dari permasalah pupuk ini tidak hanya menyangkut kestabilan ekonomi petani, namun secara cepat bisa menjalar pada isu stabilitas sosial. Masalahnya adalah saat ini sektor pertanian menempati prosi yang dominan dalam pasar tenagakerja di Indonesia. Sehingga masalah yang terkait dengan sektor ini memiliki dampak yang luas. Dari sini kita melihat bahwa tata kelola penyediaan pupuk di level petani merupakan agenda yang tidak bisa ditunda lagi.

Pemerintah tentunya menyadari urgensi soal posisi pupuk bagi perekonomian petani. Setiap tahunnya pemerintah menyiapkan lebih dari 1.2% porsi APBN untuk mensubsidi pupuk. Esensi tujuan dari subsidi ini setidaknya ada dua: (1) untuk meningkatkan produktivitas panen, dan (2) untuk meningkatkan kesejahteraan petani (Darwis dan Supriyati, 2013). Masalahnya, penyaluran pupuk ini kerap tidak tepat sasaran, dan masalah ini berlangsung secara menahun. Oleh karena itu, tulisan ringkas ini akan meninjau efektivitas pemberian insentif bagi petani ini, sekaligus memberikan masukan terkait kemungkinan kebijakan terkait subsidi pupuk di masa mendatang.

 

Pasar Permintaan Pupuk (Kesejahteraan Petani vs Ketahanan Pangan)

Indonesia adalah negara agraris. Sekitar 39 persen pekerjaan diisi oleh pekerja sektor ini (Susenas 2018), dan total PDB nya menempati urutan ketiga terbesar. Menggunakan data BPS tahun 2014, share PDB sektor ini merupakan nomor tiga paling besar dari klasifikasi 9 sektor (12.06%). Namun permasalahannya, daya saing sektor ini sangat rendah. Nilai PDRB per pekerja sektor ini berada pada urutan paling bawah (sekitar Rp8,7 juta per kapita) dibandingkan sektor-sektor lainnya (sekitar Rp24,99 juta per kapita). Data BPS tahun 2021 menunjukkan rata-rata upah pekerja sektor ini hanya sekitar Rp1.951.75 juta per bulan, jauh dibawah rata-rata upah nasional (sekitar Rp2.798.55 juta per bulan). Akibatnya, terjadi konsentrasi penduduk miskin pada sektor ini. Hasil penjabaran data Susenas 2018 menunjukkan, penduduk dengan profesi petani jumlahnya selalu berada di atas 50 persen dari total pekerja di tiap kelompok pada 3 desil pengeluaran terendah. Bahkan pada kelompok desil ke 4 jumlahnya masih cukup tinggi mencapai 46 persen. 

Kita juga menemukan gambaran menarik ketika membandingkan pola pengeluaran para petani ini dengan pengeluaran pekerja sektor lain pada desil pertama dan desil 10. Pada desil pertama, rata-rata pengeluaran untuk kebutuhan sehari petani berada di bawah pekerja sektor lain (dengan rasionya sebesar 0.97). Hal ini berarti kemiskinan petani lebih parah dari kemiskinan yang diderita pekerja sektor lain pada kelompok yang sama. Sementara pada desil 10, rasio pengeluaran petani jauh lebih rendah dari pekerja sektor lain pada kelompok yang sama. Hal ini menegaskan bahwa daya saing sektor pertanian masih jauh lebih rendah dibandingkan sektor lainnya. Atau dengan istilah lain dikatakan,

“kalau mau kaya, ya… jangan jadi petani”. 


 

Gambar 1: Distribusi PDB Terhadap PDB per Kapita per Sektor (Sumber: BPS (diolah)

Gambar 1: Distribusi PDB Terhadap PDB per Kapita per Sektor (Sumber: BPS (diolah)

 

Gambaran keparahan kemiskinan inilah yang menjadikan subsidi pupuk dianggap berperan dalam mensejahterakan petani. Dengan meringkankan biaya variable dalam usaha taninya, petani diharapkan menjadi terstimulasi (terutama) untuk menanam tanaman pangan pokok, yang umumnya membutuhkan lahan yang luas namun harga produknya cenderung rendah. Sehingga, diharapkan pula peningkatan produktivitas bisa tercapai. Resep subsidi ini pernah menunjukkan hasilnya pada masa lalu. Kalau dilihat dari sejarahnya, praktik subsidi pupuk telah berlangsung sejak lama. Penelusuran literatur Darwis dan Supriyati (2013) menunjukkan subsidi pupuk terutama berjalan sejak tahun 1970an, yakni ketika program swasembada pangan (revolusi hijau pertama kali diterapkan) di Indonesia pada masa orde baru. 



 

Gambar 2: Struktur Pengeluaran Individu per Pekerja Sektor Pertanian (Sumber: SUSENAS 2018 (diolah)

Gambar 2: Struktur Pengeluaran Individu per Pekerja Sektor Pertanian (Sumber: SUSENAS 2018 (diolah)

 

Memetakan kebutuhan pupuk dari berbeagai komoditas bukan perkara mudah dikarenakan masih terbatasnya data yang tersedia untuk mendukung upaya pemetaan tersebut. Dalam salah satu pidatonya, mantan presiden Jokowi (2023) mengatakan bahwa total kebutuhan pupuk nasional pada 2023 mencapai 13.5 juta ton. Di dalam struktur permintaan ini bisa diklasifikasikan antara golongan penerima pupuk subsidi dan golongan bukan pemakai pupuk subsidi. Merujuk Permentan No 10 Tahun 2022, total alokasi pupuk subsidi untuk tahun anggaran 2020 adalah sebanyak 7.95 juta Ton. Alokasi tersebut dirinci dengan: UREA: 3.27 ton; SP-36: 0.50 ton; ZA: 0.75 ton; NPK: 2.69 ton; NPK FORMULA KHUSUS: 0.02 ton; ORGANIK: 0.72 ton. Permentan 10/2022 mengamanatkan alokasi pupuk tersebut digunakan untuk 9 komoditas strategis, yang memiliki pengaruh besar pada inflasi. Tidak ada data yang jelas mengenai berapa alokasi yang didistribusikan per masing-masing komoditas. Namun, dengan merujuk pada catatan BPS (berbagai tahun) kita bisa membuat estimasi kasar kebutuhan pupuk per komoditas strategis tersebut, sebagai berikut: