Likes
Tabel 1: Estimasi Kebutuhan Pupuk Subsidi Nasional Menurut Komoditas Strategis Menurut Permentan 10/2020 (Sumber: BPS (diolah)
Dari tabel di atas, bisa diketahui bahwa kebutuhan pupuk tertinggi ditempati oleh komoditas pangan, yakni beras (sekitar 49%), dan Jagung (24.92%). Berdasarkan informasi yang dikatakan Jokowi di atas, juga bisa diketahui bahwa share permintaan pupuk subsidi adalah sebesar 58.94 persen dari total permintaan nasional (yang mungkin termasuk komoditas non-strategis). Atau dengan kata lain, ada kebutuhan sekitar 5,54 juta ton lagi dari pelaku usaha pertanian yang tidak masuk ke dalam skema penerima subsidi pupuk.
Pasar Penawaran Pupuk
a. Masalah Makro (Stabilitas Harga dan Input)
Uraian di atas menunjukkan bahwa ada kebutuhan sekitar 7,957,220 ton pupuk subsidi dan sisanya (5,542,780 ton) untuk golongan pupuk non-subsidi, dari sekitar 13.5 juta ton permintaan pupuk nasional tiap tahunnya. Pada tahun 2022 lalu total alokasi yang dikeluarkan adalah sebesar 7.95 juta ton, atau senilai 0.93?ri APBN senilai Rp 25.30 triliun. Dalam skema pupuk subsidi ini, konsumen akan dimanjakan dengan harga pupuk yang lebih murah dari pasaran. Sesuai Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) Nomor 734 Tahun 2022, dalam Fatika, Y.H (2023), pada 2023 HET pupuk bersubsidi dipatok masing-masing senilai Rp2.250,00 per kg untuk pupuk urea, Rp2.300,00 per kg untuk pupuk NPK, dan Rp3.300,00 per kg untuk pupuk NPK dengan formula khusus kakao.Gambar 3: Alokasi Pupuk Bersubsidi Tahun Anggaran 2020 (Sumber: Permentan 10 TAHUN 2020)
Dengan angka permintaan pupuk subsidi tersebut, sebenarnya produksi pupuk nasional (melalui PT Pupuk Indonesia) sanggup untuk memenuhinya. Berdasarkan catatan sumber resmi dan berbagai sumber lain, tren produksi pupuk lokal kita terus mengalami kenaikan sepanjang 2017-2022. Pada tahun 2022 lalu produksi pupuk nasional mencapai 18.84 juta ton. Dan diprediksi produksi pada tahun ini (2023) akan mencapai 19.45 juta ton. Artinya, jika menggunakan asumsi permintaan 13.5 juta ton, maka akan ada surplus pupuk sekitar 5.3 hingga 5.9 ton di tahun-tahun ini. Dengan menggunakan asumsi harga pupuk rata-rata (seperti pada table 1 di atas), surplus ini nilainya bisa mencapai Rp 14.503 triliun.
Gambar 4: Total Produksi Tahunan PT Pupuk Indonesia (Million Tonnes) (Sumber: Berbagai Sumber (diolah))
Permasalahan subsidi ini menjadi semakin rumit ketika komponen penyusun pupuk itu diperoleh melalui impor. Merujuk pada data World Integrated Trade Solution (WITS) keluaran Bank Dunia, beberapa tahun terakhir Indonesia justru tercatat sebagai tiga besar importir Amonium Sulfat dan Mineral bahan pembuat pupuk utama lainnya dengan total impor mencapai 1.2 juta ton pada 2021. Menurut catatan BPS, komponen ini mendominasi hingga 60% item impor pada kode HS 31 yakni untuk kategori fertilizer (pupuk). Ketergantungan pada bahan impor ini tentu menjadikan PT Pupuk Indonesia, sebagai produsen pupuk utama dalam negeri, menghadapi kesulitan yang serius dalam melakukan “kerja amal” (red: subsidi) bagi petani dalam bisnis mereka. Terlebih, status Perseoraan Terbatas (PT) di satu sisi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sisi yang lain menjadikan PT Pupuk Indonesia menghadapi dilema yang berat antara memenuhi tugas pemenuhan kebutuhan petani dan tuntutan menjaga cash flow usaha yang tetap sehat. Sehingga tekanan ekonomi eksternal terkait kelancaran pasokan input bahan baku pembuatan pupuk, akan mengganggu keseimbangan PT Pupuk Indonesia sebagai perusahaan bisnis. Tekanan harga ini pun benar-benar terjadi. Semenjak perang Russo-Ukraina sejak Februari 2022 harga pupuk dunia sempat mencapai puncaknya semenjak 5 tahun terakhir pada April 2022 lalu. Peningkatan harga yang dramatis ini terutama disebabkan Ukraina sendiri merupakan salah satu eksportir pupuk terbesar dunia.
Tabel 2: Kinerja Impor Fertilizers, Mineral or Chemical; Nitrogenous, Ammonium Sulphate (HS6: 310221) (Sumber: WITS World Bank (diolah))
Gambar 5: Fertilizers Price Index (I:FPINH3XX) (Sumber: World Bank accessed via YCHARTS)
b. Masalah Mikro (Distribusi)
Selain dalam masalah penyediaan stok di level makro, pupuk juga memiliki masalah di level mikro. Secara ringkas 3 masalah besar terkait penyediaan pupuk bersubsidi meliputi aspek: (1) Harga; (2) Distribusi; dan (3) Produktivitas . Pertama, perbedaan tingkat harga antara pupuk subsidi dengan pupuk non-subsidi telah meningkatkan potensi moral hazard di lapangan. Moral hazard atas disparitas harga ini, seolah dilapangkan dengan sulitnya pengawasan dalam aspek Kedua, distribusi. Saat ini, memang sudah ada Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Pupuk Bersubsidi (RDKK) . Data ini merupakan informasi yang diambil dari bawah untuk pengambilan keputusan alokasi subsidi yang akan diajukan pemerintah bersama dengan DPR. Sayangnya pemerintah (eksekutif dan DPR) sendiri juga enggan menjadikan instrument ini sebagai dasar pengambilan keputusan. Penelitian yang dilakukan Zulaiha et al (2017) adalah salah satu potret dari tidak signifikannya jumlah anggaran yang dikeluarkan untuk subsidi pupuk dari usulan yang muncul dari RDKK ini. Dengan tidak dijadikannya RDKK (sebagai satu-satunya informasi umum penentuan sasaran) sebagai rujukan, bisa menjadi gambaran rumitnya penyaluran pupuk subsidi di lapangan yang kerap berujung pada kelangkaan.Ketiga, terkait produktivitas, banyak temuan yang menyayangkan inefsiensi subsidi terhadap pupuk dalam meningkatkan produktivitas, terutama pada usaha tani yang melibatkan petani skala kecil. Salah satunya adalah temuan Osorio et al (2011) dari World Bank, yang mendapati bahwa subsidi pupuk mampu meningkatkan produktivitas lahan, namun sayangnya mayoritas (sekitar 60%) hanya dinikmati oleh petani kaya (40% teratas).
Tulis Komentar
Anda harus Login terlebih dahulu untuk meninggalkan komentar.