Petani Berdaya, Petani Sejahtera

Like

Bahkan, mereka sanggup memberi utang kepada nenek dan kakekku untuk modal bertani ketika paceklik, gangguan musim, atau gagal panen akibat ledakan hama/penyakit tanaman, nanti utang itu dilunasi saat menjual hasil panen ke mereka, dengan harga yang mereka tentukan.

Sering kali utang itu justru menumpuk karena gagal bayar musim sebelumnya akibat harga benih unggul, pupuk kimia dan pestisida kimia semakin mahal dan harga panen jatuh. 

Sejak ayahku yang buruh belum wafat, ibuku sudah tidak bertani, dia pekerja rumah tangga di sebuah klinik kecil swasta. Selepas sekolah, aku pun tidak mengolah tanah, menjadi petani tidak terbayang olehku sebagai cita-cita.

Aku membayangkan nenek dan kakekku adalah generasi terakhir petani di negeri ini, generasi tanpa masa depan.  Kelak, mungkin robot dengan kecerdasan buatan akan menggantikan pekerjaan nenek dan kakekku. Padahal, barang siapa menguasai pangan, ia menguasai penghidupan. Bagaimana jika robot-robot itu memutuskan mogok kerja berdasarkan algoritma?

Ketika memupuk kimia berlebihan, nenek dan kakekku tidak menyadari bahwa tanamannya tidak menyerap semua pupuknya, tetapi sebatas kebutuhannya saja, sehingga banyak pupuk terbuang percuma.


Apalagi ketika memupuk di musim hujan dengan cara disebar, bukan ditanam seperti pupuk alami, nenek dan kakekku tidak tahu bayak pupuk  hanyut  atau larut dan segera menguap menjadi gas-gas rumah kaca.

Gas-gas itu pada gilirannya menumpuk di angkasa, menghambat panas bumi dan mengakibatkan krisis iklim di seluruh dunia. Pupuk Uera, NPK dan sejenisnya seharusnya digunakan dengan prinsip empat tepat, yaitu tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu dan tepat cara. 

Ketika menggunakan benih unggul terus-menerus, benih-benih warisan leluhur tidak terawat, tidak ditanam dan akhrinya punah di gudang. Punahnya benih-benih itu seiring dengan punahnya pengetahuan tentang benih.

Baca Juga: 4 Dukungan Pupuk Kaltim untuk Koperasi Pertanian yang Membawa Kisah Sukses para Petani

Ketika menyemprot pestisida berlebihan, nenek dan kakekku tidak menyadari bahwa musuh alami serta bakteri di perairan dan tanah ikut mati, racunnya menempel di tubuh mereka, pada bahan pangan yang mereka panen untuk dimakan dan dijual, sehingga jumlah orang yang sakit karena makanan semakin bertambah. 

Nenek dan kakekku, menikmati kemajuan tetapi tidak dididik untuk menggunakannya secara bijaksana. Kemajuan yang kubayangkan serba memudahkan dan menyejahterakan bagi semua manusia, kenyataannya tidak berlaku bagi petani bermodal kecil berlahan sempit, kemajuan memerlukan syarat, yaitu kondisi yang sudah mapan, baik mapan ekonomi, mapan pengetahuan, mapan status, bahkan mapan usia.

Jika aku seorang pengusaha tentu saja aku lebih senang jika daganganku laku keras daripada memberi informasi kepada konsumenku bahwa mengonsumsi daganganku secara berlebihan membahayakan diri mereka.

Alat produksi pertanian seperti benih unggul, pupuk kimia dan pestisida kimia menjadi candu bagi nenek dan kakekku. Mereka tidak dapat keluar dari kemiskinan hingga seluruh ladangnya akhirnya dijual agar aku tidak lagi meneruskan pekerjaan bertani.   

Semestinya, nenek dan kakekku juga belajar, tidak hanya menjadi konsumen alat produksi pertanian dan produsen pangan yang tidak sejahtera.

Belajar membuat orang tahu dan dapat mengambil keputusan sesuai kebutuhan dan keadaan.  Namun, apakah petani akan diberi kesempatan belajar? Sebab, berpengetahuan berarti berkuasa untuk menyejahterakan diri.