Cara Arnis Wigati Ajak Anak Muda Kenal Indonesia Lewat Gaya Ala Sabuya Sembari Menjaga Bisnis Tetap Eksis

Cara Sabuya edukasi pelanggannya bahwa kain etnik bisa digunakan di berbagai suasana | Foto: screeshoot Instagram @sabuyaroom

Cara Sabuya edukasi pelanggannya bahwa kain etnik bisa digunakan di berbagai suasana | Foto: screeshoot Instagram @sabuyaroom


Totebag cantik pencuri spotlight dari Kalimantan
Dalam gelaran produk UMKM Kalimantan yang diselenggarakan di Sarinah, Jakarta, 2 tahun lalu, saat berkeliling booth ke booth, saya tidak sengaja melihat sebuah tas perempuan yang cukup cantik, unik dan autentik. Saya akan jabarkan kenapa saya menyebutnya demikian. 

Tas ini berupa totebag dengan tali utama terbuat dari kulit asli berwarna cokelat dan hooknya berwarna keemasan. Kokoh sekali. Totebag ini bisa ditutup dengan resleting utama berwarna hitam di bagian atas badan tas. 

Lalu bagian badan tas terbuat dari suede halus yang mewah berwarna hitam. Poin yang paling menarik adalah, di bagian depan badan tas, hampir 3/4 jumlahnya, suede ini ditimpa dengan kain etnik asli dari Kalimantan berwarna terracota dengan corak yang begitu unik. Saya lupa persisnya dari Kalimantan mana. 

Padu padan warna coklat kulit, gold dari hook, hitam suede dan kain etnik kalimantan berwarna terakota menjadi satu kesatuan yang memang menarik perhatian bahkan dari awal pandangan. Tidak ada tabrak warna yang menyakitkan mata.

Di bagian dalamnya, tas dilapisi kanvas dengan satu kompartment besar dan satu komparment kecil dilengkapi resleting. 


Saat melihatnya, saya sudah tebak harganya mungkin mencapai jutaan Rupiah mengingat betapa cantiknya produk ini dibuat. Beruntungnya pameran ini memberikan saya harga yang jauh sangat terjangkau dari harga yang semestinya. 

Apa yang menarik dari produk ini?

Kecantikan, padu padan warna dan bahan yang sepertinya sudah melewati berbagai pertimbangan dan diskusi alot dari tim rupanya bukan hanya mencuri perhatian saya saja. 

Saya kerap menggunakan totebag ini di berbagai kesempatan, mulai dari hangout hingga pertemuan formal. Gayanya yang etnik namun dikemas secara modern membuat totebag ini mudah sekali dimix and match. Dan banyak perempuan di sekeliling saya yang mengatakan hal serupa tiap kali mereka melihat tas ini saya gunakan. 

"Tas apa iniiii? Cantik sekali." Dengan matanya yang terlihat berbinar saat mengatakan hal tersebut. 

Anda tahu, kalau sudah soal fashion, perempuan umumnya cenderung berkata jujur agar mereka bisa mendapatkan rekomendasi tempat serupa untuk mendapatkan produk yang sama. 

Tak jarang mereka menyentuh bahannya, mencoba sendiri tasnya sembari sesekali berpose centil, bahkan bertanya dimana mereka bisa mendapatkannya. Harus diakui, meski pada saat beli sempet mikir dua kali, keputusan ini tak pernah saya sesali.

Nyatanya, totebag cantik dari Pulau Seribu Sungai ini selalu berhasil mencuri spotlight di manapun dan kapanpun saya menggunakannya. 

Baca Juga: Fashion Etnik ala Sabuya, Bukti Budaya Lokal Bisa Tetap Relevan
 

Persaingan Dunia Fashion di Indonesia

Harus diakui, persaingan dunia fashion memang semakin ketat. Rival terus berinovasi, masifnya pertumbuhan pemain baru, saingan bukan hanya produk lokal, tapi juga internasional yang rasanya pintu masuknya kok terbuka begitu lebar dan harganya yang kelewat murah tak normal. 

Jangan lupa juga soal praktik import fashion thrift yang meski sudah resmi dilarang oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 yang kemudian diperbarui dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022 namun pergerakannya masih terus ada hingga kini. 

Data dari Goodstats menyebutkan bahwa impor pakaian bekas ke Indonesia pada tahun 2022 mencapai 8 Ton, meningkat 227,75% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan nilai Rp4,21 miliar.

Mau tak mau, pemain-pemain lokal harus putar otak agar tak tergerus dengan fashion luar yang terus merangsek masuk ke Indonesia. 

Di tengah maraknya tantangan untuk bertahan, ada satu yang harus kita kemukakan secara gamblang dan mungkin lambat kita sadari; bahwa kebutuhan fashion di Indonesia masih terbilang tinggi, pertumbuhan pasarnya pesat, dan peluang merebut pelanggan pun masih terbuka lebar. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya?
 

Lebih Mindful Urusan Pakaian

Sejak bermetamorfosa jadi perempuan kantoran beberapa tahun lalu, saya mulai melek dengan dunia fashion. Pakaian lebih selektif, formal tapi tetap terlihat asyik, penampilan rapi dan terjaga, wajah dan rambut harus lebih terawat dan lebih perhatian dengan detail-detail kecil yang patut dan tak patut dikenakan sehari-hari. 

Dulu, saat periode awal beradaptasi dengan barang bermerek - tidak luxury, tapi nama brandnya cukup ramai diketahui - dan sudah punya penghasilan sendiri, saya pikir, semakin mahal produk yang saya miliki, dan semakin bermerek produk yang saya beli, maka semakin oke juga penampilan saya dari kepala hingga kaki. 

Perlahan-lahan saya sadari, jika terus menerapkan pola pikir ini, saya borpetensi bangkrut gara-gara pakaian. Sejak itu, saya mulai membuka diri untuk mengenali jenis-jenis pakaian, bahan yang nyaman dan tidak nyaman digunakan, cara memilih pakaian agar bisa digunakan di berbagai tujuan, bagaimana cara merawat pakaian, termasuk kiat mix and match agar memberikan looks berbeda meski sudah digunakan berkali-kali. 

Penerapan cara ini bukan hanya berhasil menghemat anggaran bulanan saya soal pakaian, tapi juga membuat saya lebih mindful dengan apa yang saya belanjakan, looks saya tetap berbeda dengan pakaian yang sama, lebih jauh lagi, edukasi yang saya pelajari pelan-pelan membukakan ruang bagi saya untuk turut bersuara bahwa menjadi seorang konsumen pakaian yang bijak akan membawa dampak baik pula bagi kesehatan Bumi yang kita pijak. Penerapan ini dikenal dengan istilah sustainable fashion.

Ini adalah poin of view atau sudut pandang dari saya sebagai seorang pelanggan pakaian yang anehnya sepertinya ditangkap oleh para produsen pakaian. 
 

Produk Lokal Tetap Vokal

Seiring dengan gencarnya kampanye sadar lingkungan dari berbagai aspek seperti makanan, transportasi, hingga pakaian, bukan hanya pelanggan yang beradaptasi, tapi pelaku usaha pakaian juga turut serta berkontribusi. 

Adaptasi ini menjadi penting sejalan dengan kesadaran konsumen akan dampak yang bisa diberikan pada lingkungan dari sepotong pakaian. Soal fashion berkelanjutan ini, pilihan untuk pelaku usaha hanya dua, adaptasi atau mati. 

Bicara soal beradaptasi, saya pernah dengar istilah produk lokal harus tetap vokal. Ini butuh kolaborasi pentahelix agar gemanya lebih merata. Namun, bagi pelaku usaha fashion, tak cukup hanya menunggu woro-woro dari kolaborasi tersebut untuk tetap bersinar. Penting terus berinovasi dan menelurkan ide-ide terbaru agar siap berdaya saing dan tetap eksis menghiasi panggung pakaian di negeri sendiri. 

Bukan cuma itu, pastikan fashion Anda juga unik, berbeda, dan autentik. Seperti totebag etnik Kalimantan yang saya gunakan di atas, berhasil mencuri spotlight di manapun dan kapanpun tas tersebut saya kenakan.  

Baca Juga: 4 Cara Sabuya Memperkenalkan Budaya Lokal Lewat Produk Fashion


Sabuya Ajak Anak Muda Kenal Indonesia Lewat Gaya

Kembali ke pertanyaan bagaimana caranya agar pelaku usaha fashion tetap bertahan, eksis di tengah gempuran banyaknya saingan. 

Ada satu produk lokal yang cukup menarik perhatian, namanya Sabuya. Satu dekade sudah berlayar menjadi produsen pakaian di Indonesia, kehadirannya tak tergerus justeru makin hadir dengan ide-ide jenius. 

Alih-alih melaksanakan kampanye besar-besaran untuk memperkenalkan produknya, pendekatan mereka kepada target pasarnya lewat permainan konten terbilang cukup cerdik. Cara ini barangkali bisa juga diduplikasi oleh para pelaku usaha lainnya:

1. Autentik

Namanya Arnis Wigati, owner Sabuya yang memiliki hobi menapakkan kaki di berbagai sudut Ibu Pertiwi. Ia seorang traveller yang suka berkeliling Indonesia. Hobi ini rupanya memunculkan hobi lain yang jadi sumber cuannya yakni mengumpulkan kain-kain daerah. 

Bukan asal, kain-kain daerah ini kemudian disulap menjadi pakaian sehari-hari dengan design yang lebih modern

Satu dekade sudah berjalan, di tengah banyaknya ragam bahan pakaian yang memberikan harga terjangkau, Sabuya bertahan dengan pilihan sejak awal kelahiran jenama ini. Tetap autentik mengangkat kain-kain daerah untuk dikenalkan ke seluruh nusantara lewat penggunaan sehari-harinya. 

Yang menjadi spesial dari keputusan ini adalah, Sabuya membuka peluang bagi para pelanggannya memiliki berbagai kain daerah dengan berbelanja di toko mereka tanpa perlu ke daerah tersebut terlebih dahulu. 

Poin lainnya adalah, kain-kain daerah yang disukai para pelanggannya sudah berbentuk pakaian jadi yang siap digunakan sehari-hari tanpa perlu ke tukang jahit lagi. Praktis, efisien dan hemat biaya. 

Elaborasi penggunaan berbagai kain daerah dari nusantara dan ide design modern untuk digunakan dalam aktivitas sehari-hari menjadi kekuatan Sabuya mampu bertahan di tengah tingginya arus persaingan. 

Belum lagi kain daerah identik dengan kualitasnya yang di atas rata-rata dan masuk dalam kategori fashion berkelanjutan yang membawa corak timeless dan bisa digunakan selama bertahun-tahun. 

Tampil gaya dalam balutan Sabuya sembari menjaga Bumi kita, kenapa tidak?
 

2. Permainan Konten yang Cerdik

Jika Anda berkunjung ke media sosial Sabuya, Anda akan mendapati permainan latar foto yang cukup cerdik, setidaknya menurut saya. 

Produk ini memang menyasar pangsa pasar usia 19-55 tahun, tapi yang menarik adalah latar tempat para modelnya. Ada yang di warung, ada yang di jalanan, ada yang di pasar, ada yang di gang, ada juga yang ke kantor.

Permainan latar ini menjadi bentuk konsistensi Arnis Wigati dalam memulai karirnya di bidang fashion. Mencatut pesannya kala saya hubungi lewat WhatsApp beberapa hari lalu,

Baca Juga: Gaya ala Sabuya: Sebuah Evolusi Fashion dalam Mengekspresikan Budaya Indonesia
 
"Anak muda harus kece pakai tenun, pakai kain Indonesia gak melulu pas kondangan aja." Tuturnya menutup pembicaraan.  

Seperti pesan awalnya yang bermimpi agar kain-kain daerah bisa digunakan dalam aktivitas sehari-hari tersirat begitu kuat dalam konten-konten yang tersaji.

Arnis dan tim tak perlu menyerukan bahwa produk ini untuk usia 19-55 tahun, tapi pasarnya bisa menangkap pesan dengan jelas bahwa anak muda sampai orang dewasa layak menggunakannya.

Fashion ini bukan untuk tujuan ngantor dan kondangan saja, tapi bisa digunakan saat hangout bahkan ke pasar trandisional juga.